20 Agustus 2012
Dunia tak pernah berpihak sekalipun padaku, di hadapanku berdiri seseorang yang sering ku sebut Ayah. Matanya menatapku tajam serta rahangnya mengeras.
Ayahku adalah salah satu politikus paling berpengaruh di kota ini, namun melihatnya justru membuang perasaan asing menyeruak pada dadaku. Aku tak pernah merasa sedikitpun─bahwa ia Ayahku.
"Ayah akan menjemputmu nanti pada musim dingin. Jangan mencoba kabur atau Ayah akan menghancurkan Panti Asuhan tak bergunamu itu," katanya mengancamku. Aku terkekeh dalam hati, rasanya aku ingin marah, meluapkan segala kefrustasian serta kekecewaanku, namun melihat bagaimana Mark yang sangat tabah, aku merasa malu.
"Apakah Ayah menyayangiku?" tanyaku setelah keheningan lama melingkupiku dan Ayah dalam caffe tak jauh dari tempat tinggalku.
"Ini adalah pertanyaan lama yang sangat ingin ku tanyakan, aku baru memiliki keberanian sekarang. Apakah Ayah menyayangiku? Tidak, apakah Ayah setidaknya pernah menyayangiku?" tanyaku lagi sembari menatap teh yang sudah dingin di depanku.
"Ngomong apa kau ini?!" Suara Ayah justru meninggi seakan-akan merasa aneh dengan ucapanku.
"Ayah.."
"Lee Jeno, jangan banyak tingkah dan tutup mulutmu. Jangan berani-berani menanyakan hal paling tidak penting itu pada Ayah."
Aku hanya tersenyum getir begitu pria yang disebut Ayahku itu berlalu begitu saja dengan wajah kesalnya. Aku tak banyak kata, runguku mendadak seakan-akan tuli, aku menghela napas dengan bulir air mata yang tiba-tiba mengalir.
"Sepertinya aku sudah sangat sakit."
🍃🍃🍃
Jaemin menatap sosok Jeno yang terus memakan bubur buatan sang ibu dengan lahap, keningnya mengkerut, namun senyum tipis terulas pada wajahnya.
"Apakah kau merindukan rumah?" tanya Jaemin. Sosok Jeno─Lee Mark─itu nampak mengangguk semangat.
"Apa yang paling kau rindukan?"
"Kau, adikku."
Jaemin terhenyak begitu mendengar jawaban Mark. Pemuda itu tak banyak kata mengambil sesuap bubur ke dalam mulutnya. Ia tak ingin menangis lagi sekarang.
Sang Ibu yang melihat itu hanya tersenyum tipis, dalam hati merasa getir melihat pemandangan di depannya. Sosok Mark dalam diri Jeno?
"Apakah syal buatanku jelek?" tanya Mark pada sela-sela makannya. Jaemin menggeleng. "Sangat bagus."
"Mengapa tak pernah memakainya?" tanya Mark kemudian. Ia terus tersenyum.
"Karena.." Jaemin terbata, pemuda itu tak dapat melanjutkan kalimatnya.
"Aku selalu berharap melihatmu dengan syal itu. Pasti akan sangat tampan, sebab kau adikku."
Jaemin tersenyum dengan bulir air mata yang mengalir kembali. Pemuda itu mengangguk cepat. "Aku akan memakainya."
Sial, ia menangis lagi.
"Jangan menangis. Aku tak suka melihat adikku menangis." Mark menghapus jejak air mata itu dengan lembut.
Hal tersebut justru membuat Jaemin tambah menangis. Pemuda itu bahkan sampai terisak.
"Sehabis ini mau kah kau pergi bersamaku ke taman bermain?" tanya Mark.
"Tentu saja, aku akan bermain bersamamu sepuasnya."
🍃🍃🍃
"Terima kasih, Dokter Jaehyun."
Panggilan itu terputus begitu saja, Jaehyun nampak kesal di seberang sana. Namun masa bodo dengan hal itu, Jaemin ingin menghabiskan waktunya dengan Mark untuk saat ini.
Dibandingkan takut serta khawatir, ia memilih hal yang berbeda untuk pertama kalinya. Jaemin berani mengambil resiko.
"Ini es krim mu."
Mark datang sembari berlari kecil, ia tampak seperti bocah berusia 10 tahun. Senyumnya tampak sangat lebar.
"Apakah kau senang?" tanya Jaemin melihat Mark yang memakan es krim dengan lahap.
"Senang sebab makan es krim dengan adikku." Mark tertawa kecil sembari mengusap surai milik Jaemin.
"Oh iya." Jaemin tiba-tiba merogoh sebuah kantung plastik di sebelahnya. "Aku juga membeli syal ini untukmu. Memang tak sebagus buatanmu, tapi aku benar-benar berusaha untuk menemukan yang terbaik."
Mark tersenyum melihat syal berwarna biru yang disodorkan oleh Jaemin. "Terima kasih, aku akan memakainya."
"Tampak cocok untukmu," ucap Jaemin melihat Mark melilitkan syal tersebut pada leher.
Keduanya duduk dengan tenang pada sebuah taman bermain, memandang gemerlapnya bintang pada langit, Jaemin merasa hatinya menghangat malam ini.
"Aku sangat ingin memiliki kakak." Jaemin tiba-tiba berujar, membuat Mark di sebelahnya menoleh. "Aku ingin benar-benar memiliki kakak yang dapat kupeluk. Aku pikir Mark hyung benar-benar meninggalkanku."
"Aku memang meninggalkanmu," balas Mark. "Namun, aku tetap akan ada di sini." Pemuda itu menunjuk dada Jaemin. "Di hatimu."
Jaemin tersenyum tipis, hatinya serasa getir. Ia tak memiliki apapun untuk dikatakan, perkataan Mark tak salah, namun hatinya sakit.
"Jaemin.."
"Ya?"
"Jangan membenci Lee Jeno," ujarnya tiba-tiba. Jaemin mengerutkan kening. "Aku tak pernah membenciny—"
"Jangan mengharapkan sosokku pada Lee Jeno."
"Apa maksudm─"
"Aku berjanji setelah ini aku akan meninggalkan Lee Jeno. Tubuh dan hidup ini miliknya, tugas dan masaku sudah selesai."
Jaemin menatap dengan tatapan tak mengerti, Mark hanya tersenyum, kembali mengusap lembut surai miliknya.
"Jaemin.. raga di depanmu ini adalah milik Lee Jeno. Aku yang begitu egois hingga mengambil kesempatan ini untuk bertemu denganmu."
🍃🍃🍃
menurut kaliannn, mengikhlaskan
itu gampang ga sihh? walau aku udah
tahu jawaban pastinya, tapi percaya deh,
waktu itu menyembuhkan. Ikhlas itu satu
hal yang pasti, yang ga pasti itu cuman
berapa lama waktu yang kita butuh untuk
mengikhlaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Home Alone ✔
General FictionRumah ini hanya tinggal menyisakan satu raga, sementara yang lainnya bergerak melangkah, ia tetap pada tempatnya.