"Apakah kau sudah siap?"
"Aku tak mengerti.."
"Kau akan mengerti nanti. Baiklah, senyum sesuai yang temanku arahkan ya."
Jeno tersenyum kikuk begitu Jaemin meninggalkannya berdua saja dengan seorang pemuda yang berwajah dingin. Jaemin membawanya ke tempat asing, sebuah studio kecil bernuansa kuno, namun sangat cantik.
"Kau hanya perlu duduk di sana, tersenyum saat aku memintamu tersenyum," titah orang tersebut, menunjuk sebuah kursi dengan background polos putih. Jeno kemudian mengangguk dan menuruti perintah. Gerakannya terlihat amat kaku.
"Baiklah aku mulai ya.."
Jeno melirik ke kanan dan ke kiri. "Ehm.."
"Apakah ada masalah?" tanya orang tersebut begitu melihat gelagat Jeno yang terlihat aneh.
"Apakah Na Jaemin, temanku itu, boleh ikut berfoto juga?"
"Bagaimana bisa seperti ini?!" pekik Jeno terkejut sekaligus sangat senang begitu melihat hasil foto tersebut keluar.
"Itulah kekuatan komputer." Jaemin terkekeh geli, merasa Jeno agak norak.
Jeno menatap foto tersebut dengan mata berbinar-binar, ia mengelus foto itu dengan lembut. Senyum terus terpatri di wajahnya, senyum yang sangat lebar, yang tak pernah nampak sebelumnya. Jeno terlihat sangat bahagia.
"Apakah kau bahagia?" tanya Jaemin, hatinya menghangat melihat senyuman Jeno.
"Sangat."
"Kalau begitu aku turut bahagia, ngomong-ngomong mengapa menyuruhku untuk ikut?" tanya Jaemin lagi. Jeno meliriknya sedikit sebelum kembali fokus pada hasil foto digenggamannya.
"Karena kau adik kesayangan Mark hyung," jawab Jeno terlihat sekenanya.
"Hanya itu?" Wajah Jaemin berubah masam. "Ya su─"
"Karena kau juga bagian dari kami, Na Jaemin. Karena kau adalah teman pertamaku, karena kau adalah adik Mark hyung, karena kau adalah keluarga kami."
Jaemin tersenyum dengan matanya yang mulai memanas. Dulu, Jaemin ingin sekali memiliki saudara yang dapat diajak bicara.
Ia hanya dapat mendengar cerita Ibunya tentang Mark, namun bertemu saja tak pernah. Jaemin merasa sangat kesepian, namun melihat ini semua, Jaemin merasa ia memiliki banyak saudara.
Tak apa walau mereka pergi lebih dulu.
Tak apa, sebab mereka hanya menyelesaikan pertandingan lebih dulu dibandingkan Jeno dan Jaemin.
"Jaemin."
"Ya?"
"Apakah kau ingin bertemu dengan mereka?"
🍃🍃🍃
[About those who left first; Na Jaemin]
Sebenarnya ada banyak kata yang ingin ku utarakan begitu bertemu dengan Mark, aku ingin sekali meluapkan segala bebanku serta kerinduanku namun ternyata begitu aku berdiri di hadapannya, aku tercenung.
Aku hanya dapat diam dengan bibir yang mulai kelu.
Aku menatap tempat peristirahatan terakhirnya itu dengan senyum yang tulus. Bukan berarti aku tak berduka, aku hanya ingin tersenyum saat bertemu dengannya untuk pertama kalinya.
Tak elok rasanya jika aku menangis keras-keras padahal baru pertama kali datang. Mataku memanas namun aku yakin ini bukan soal kesedihan. Dapat ku lihat Jeno di sebelahnya masih tersenyum, aku tak tahu ia hanya berpura-pura sudah baik-baik saja atau semua ini─ia hanya ingin belajar mengikhlaskan.
"Hei, Mark hyung." Aku menyapa untuk pertama kalinya. "Aku sedih sekali sebenarnya, kita bahkan belum sempat bertatap muka. Tak adil, kau sering melihat wajahku namun aku hanya dapat melihat wajahmu dari foto saja."
"Aneh rasanya sekarang aku seperti memiliki 6 saudara, padahal selama ini aku sangat kesepian. Tapi tak apa, aku sangat senang. Aku akan selalu kemari saat membutuhkan saudara."
"Lagipula kenapa kau berjanji pulang saat natal? Itu kan terlalu lama."
"Oh ya, Renjun. Wajahmu tampan juga, walau katanya kau sering babak belur. Tapi tak apa, orang tampan mau bagaimanapun juga akan tampan. Tolong nanti saat kau terlahir kembali, temui aku sekali saja. Aku ingin melihat wajah saudaraku secara langsung paling tidak sekali. Tapi jangan marah-marah, aku orang yang gampang tersinggung, nanti bisa-bisa aku menangis."
"Lalu.. Haechan hyung, kau adalah orang yang kuat. Kata Jeno kau banyak menangis, aku juga orang yang gampang menangis. Bagaimana kalau kita menangis bersama-sama nanti? Maka dari itu, temuilah aku saat nanti terlahir kembali. Aku benar-benar akan menjagamu, aku akan menemanimu menangis. Serius, aku suka menangis."
"Kemudian Chenle, hei, tawamu itu sangat nyaring. Kau tidak sadar ya? Apakah kau sedang duet dengan Haechan hyung? Haechan hyung menangis lalu kau tertawa. Begitu kah? Maaf, aku tahu tidak lucu, tapi aku yakin kau akan tertawa sebab kau orang yang mudah tertawa. Kapan-kapan kau harus membuatku tertawa saat aku menangis ya. Aku akan penasaran dengan suara tawamu yang aneh itu."
"Dan.. Jisung..."
Entah mengapa aku tersendat, tenggoranku terasa panas. Pertahananku runtuh, entah bagaimana aku justru menangis. Menyebut nama Jisung..
"Jisung, apa kau bahagia?" Aku bertanya walau aku tahu ia juga tak akan menjawab.
"Kalau kau bahagia.. aku akan memberimu permen lebih banyak. Aku tahu ini terdengar aneh, tapi terima kasih sudah melindungi saudara-saudara kita ini. Bahkan sampai akhir hayatpun, kau tetap melindungi Lee Jeno. Terima kasih sebab sudah berani berdiri paling depan di antara kami. Padahal kau yang termuda, terima kasih. Aku benar-benar berterima kasih, di kehidupan selanjutnya.. aku harap kita benar-benar bertemu agar aku dapat mengucapkan rasa terima kasih ini secara langsung."
Dan untuk Lee Jeno.
Aku harap langkah mu tak lagi goyah dalam kehidupan ini. Yang hidup akan terus hidup, langkahnya tak boleh berhenti, sebab suatu saat nanti, langkah itu pun akan berhenti tanpa diperintah.
Maka dari itu.. kau hanya perlu menyelesaikan pertandingan mu sampai akhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Home Alone ✔
Ficción GeneralRumah ini hanya tinggal menyisakan satu raga, sementara yang lainnya bergerak melangkah, ia tetap pada tempatnya.