22 Mei 2012
"Apakah seseorang itu berhak menentukan mati dan hidupnya?"
Aku bertanya dengan suara pelan, nyaris tak terdengar sebab bersahut-sahutan dengan petir yang menyambar malam ini. Aku menatap Haechan yang berbaring membelakangiku. Cahaya remang memenuhi gelap dan dinginnya ruangan ini.
Suara detik waktu berjalan justru menjawab pertanyaanku, tak ada sahutan dari Haechan walau ku tahu pemuda itu belum tertidur.
Aku hanya dapat diam dan tak dapat berbicara lagi, aku tak pernah dapat mempercayai diriku sendiri. Membayangkan bagaimana kehidupanku nanti, bagaimana kehidupan ku yang akan membaik, tidak, aku bahkan tidak berani membayangkannya.
"Tidak berhak." Suara Haechan tiba-tiba terdengar. "Namun mengapa hidupku terlihat seperti hukuman untukku? Apakah aku melakukan hal buruk pada kehidupanku sebelumnya?" tanyanya dan aku tak akan pernah bisa menjawab.
"Apakah dosaku sangat besar?" Haechan melanjutkan. Bibirku kelu, hatiku kembali tergores. Aku tak dapat berbicara apapun.
Sebab perkataan menghibur itu sudah amat terdengar bak dongeng bagi kami. Sederet kata fana itu seperti sudah tak dapat menembus benteng luka kami.
"Aku pikir hidupku akan membaik dan waktu akan menyembuhkan. Namun, berapa lama lagi aku harus menunggu? Menunggu untuk uluran tangan seseorang datang padaku."
"Haechan.."
"Lee Jeno, aku benar-benar ingin mati, namun untuk melakukannya, aku bahkan tak punya keberanian."
🍃🍃🍃
"Bertanya itu adalah hal yang sulit."
Jaemin menganggukkan kepalanya. Ibu Jaemin tersenyum menatap anak lelakinya itu dengan lembut. "Apakah sulit?"
"Sedikit."
"Bertahanlah, Ibu mengerti bertahan lebih sulit dibandingkan memulai. Namun jika kau sudah memutuskan, kau harus maju untuk apapun, sudah terlalu jauh untuk mundur."
"Iya." Jaemin menyuapkan bubur buatan sang Ibu ke dalam mulutnya, matanya bergulir, memikirkan kejadian tempo hari. Hatinya benar-benar dibuat mengganjal.
"Ibu."
"Ya?"
"Mengapa aku tak pernah bertemu kakak?" tanya Jaemin. Ibu yang hendak melahap buburnya tiba-tiba terhenti. Wanita paruh baya itu terlihat terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum kaku.
"Ia sibuk, kan Ibu sudah bilang. Kakak mu sedang belajar di luar negeri."
"Selama 5 tahun? Tanpa bertukar pesan?" tanya Jaemin lagi. Sang ibu mengangguk.
"Ibu."
"Ada apa?"
"Apakah Ibu mengenal seseorang bernama Lee Jeno?"
Uhuk uhuk
Ibu justru tersedak, wanita itu menepuk-nepuk dadanya. Jaemin menyodorkannya segelas air dengan dahi mengernyit.
"S-siapa?"
"Lee Jeno."
"Mengapa menanyakannya?"
Jaemin menghela napasnya. "Ibu jawab saja pertanyaanku."
"Ibu tidak begitu ingat, banyak sekali orang bernama Lee Jeno—"
"Lee Jeno adalah nama yang jarang, Ibu." Jaemin menatap sang Ibu yang nampak aneh sekarang, wanita itu tampak seperti orang yang... panik?
"Na Jaemin, Ibumu ini sudah sangat tua. Bagaimana bi—"
"Jadi Ibu mengenalnya." Jaemin mengangguk-anggukan kepalanya, hidup hampir seumur hidupnya dengan sang Ibu membuat Jaemin tahu persis bagaimana gelagat wanita itu jika tengah menyembunyikan sesuatu.
Melihat sang Ibu yang terdiam dengan wajah penuh arti, Jaemin menghembuskan napasnya pelan. "Aku tak akan bertanya lebih lanjut, Ibu dapat memberitahuku jika Ibu sudah siap. Termasuk soal... kakakku."
🍃🍃🍃
"Jihoon, bisakah kau memantau Jaemin? Akhir-akhir ini ia seperti orang yang aneh. Ia tampak menggebu-nggebu dan labil."
Jihoon menatap Dokter Jaehyun kemudian mengerutkan keningnya. "Jaemin?"
"Iya."
"Aku pikir tak ada masalah dengan Jaemin, Dok."
Tatapan wajah santai Jaehyun segera menjadi tajam begitu mendengar penuturan Jihoon. "Aku memberikan perintah padamu, Jihoon. Lagi pula hanya memantau, setelah itu melapor padaku, apakah sulit?"
"Maaf, Dok." Jihoon membungkukkan badannya, ia tak tahu mengapa namun akhir-akhir ini Jaehyun menjadi sangat sensitif. Dokter berkacamata bulat itu seperti tengah menahan sesuatu yang akan meledak.
"Dok, bolehkah aku bertanya sesuatu?" tanyanya kemudian. Jaehyun hanya berdehem untuk menjawab, matanya sibuk pada laptop di depannya.
"Mengapa tugasku dialihkan pada Jaemin? Ia hanya anak magang yang baru bekerja selama seminggu—"
"Bukankah bagus menambah pengalaman untuknya?" potong Jaehyun cepat. Kata-katanya memang benar, namun entah mengapa terdengar tak benar di telinga Jihoon.
"Pasien dengan kepribadian ganda itu adalah kasus yang cukup sulit dan serius, saya bahkan hanya menjadi asisten Dokter Jaehyun selama hampir sebulan. Lalu mengapa Lee Jeno ditangani penuh oleh Jae—"
"Pekerjaanmu terlihat sedikit, Jihoon." Jaehyun menyela cepat. Jihoon dalam hati mengumpat, Jaehyun sangat menyebalkan akhir-akhir ini. Sepertinya harinya sedang tak baik.
"Maaf, Dok. Aku akan kembali bekerja."
Jaehyun menatap Jihoon dengan tatapan yang sulit Jihoon mengerti, pemuda itu hendak bangkit berdiri sebelum perkataan Jaehyun menghentikannya.
"Jeno memiliki alter ego kehidupan nyata."
Kedua mata Jihoon sontak membola, pemuda itu terkejut. Seakan-akan mengerti arti dari tatapan Jihoon, Jaehyun menghela napasnya.
"Semua alter ego milik Jeno, benar-benar memiliki kehidupan sebelumnya. Dan Jihoon, Jeno tak benar-benar mengingat seluruh kehidupannya..
".. aku harap ia memang tak akan pernah mengingatnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Home Alone ✔
General FictionRumah ini hanya tinggal menyisakan satu raga, sementara yang lainnya bergerak melangkah, ia tetap pada tempatnya.