Selesai membayar semua barang belanjaannya, Zahra berjalan perasaan yang kalut dan melamum membuat Umi menyentuh lengan Zahra dengan lembut.
"Zahra," ujar Umi membuat Zahra langsung menatap Umi.
"Kenapa?" tanya Umi lembut.
Zahra langsung menggelengkan kepalanya, dan memperlihatkan senyumannya yang tampak getir lalu kembali fokus menatap langkah kakinya.
"Zahra," ujar Umi lagi menyentuh lengan Zahra saat keduanya duduk di pinggiran taman mall yang terdapat kursi panjang.
"Umi melihatnya tadi," ujar Umi membuat Zahra menautkan alisnya tak mengerti maksud ucapan Uminya.
"Perempuan tadi itu. Yang berbicara dengan kamu saat kamu berada dekat dengan kulkas es krim," ujar Umi yang membuat Zahra langsung mengerti siapa yang Umi maksud.
"Dia mantan istri Abang, benarkan?" ucap Umi membuat Zahra berkedip sekali menatap Umi lalu langsung mengalihkan wajahnya.
"Lalu kenapa Nak?" ujar Umi dengan alis yang saling bertautan.
"Kenapa Zahra harus takut dia kembali ke dalam hidup Zahra dan Abang," ucap Umi membuat Zahra langsung menatap Umi.
"Umi," ucap Zahra, "Dia selalu saja muncul di kehidupan Zahra dan Abang, bagaimana bisa Zahra tidak terganggu Umi?" lanjut Zahra.
"Zahra tidak takut Umi, hanya saja Zahra merasa terganggu karena dia selalu saja muncul dan mencari celah untuk kembali bersama Abang," ungkap Zahra.
Umi terdiam tak lagi membuka suara. Bagaimana pun rasa cemburu dan ketakutan pasti akan ada dalam hati seorang istri akan suaminya yang pernah sebelumnya menikah lalu bercerai.
"Jangan terlalu di pikirkan Nak, tidak baik," pesan Umi mengusap bahu Zahra.
Zahra diam dan hanya menatap ujung sepatu flatnya dengan alis yang saling bertautan.
"Bunda ...," panggil Zafran membuat Zahra mengalihkan perhatiannya menatap Zafran.
"Kenapa Papa lama sekali?" ujar Zafran membuat Zahra menatap layar ponselnya yang terlihat pukul empat lewat.
"Sebentar sayang, Bunda coba telepon Papa lagi," ujar Zahra menekan nomor Zidan dan meneleponnya.
Namun panggilan Zahra bukannya terhubung malah di tolak oleh Zidan membuat Zahra menautkan alisnya lalu kembali mencoba untuk menelepon, dan sama halnya Zidan tetap menjawab panggilan tersebut.
"Heum ...," hela Zahra, "Umi, kita pulang saja dengan taksi," ujar Zahra mulai hendak mengangkat barang belanjaannya namun langsung di tahan oleh Umi.
"Nak, jangan seperti itu. Zidan mungkin belum selesai dengan pekerjaannya," ujar Umi.
"Benar Umi, dan Abang juga tidak akan datang menjemput kita sampai magrib," ucap Zahra dengan perasaan yang kesal.
Umi hanya diam tidak bisa menyahuti ucapan putrinya yang memang nyata demikian. Umi mengerti akan kemarahan Zahra karena kurangnya perhatian Zidan.
"Biar Umi saja," ujar Umi mengambil plastik belanjaan yang hendak di bawa oleh Zahra.
Perasaan sesak tiba-tiba menyergab hati Zahra saat mengingat Zidan yang kembali ingkar akan janjinya untuk menjemput Zahra. Matanya pun mulai berkaca-kaca dan dengan sekuatnya ia menahan agar air mata tersebut tidak tumpah dari pelupuk matanya.
Umi dan Zahra sibuk meneliti plastik belanjaan yang dimasukkan oleh sopir taksi ke dalam bagasi, namun tanpa mereka sadari Zafran yang kehilangan mainan mobilannya mencari keberadaan mobilannya.
Hingga akhirnya manik mata anak laki-laki itu menangkap mainan mobilannya yang terletak begitu saja, senyuman pun terbit di wajahnya dan mulai melangkah menuju mainan mobilannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUKA atau OBAT ?
RomanceZahra Al-Malik, perempuan yang sudah hampir tidak mempercayai lagi laki-laki selain Almarhum Abi dan saudari laki-lakinya, dan mungkin bahkan sekarang ia tidak akan pernah percaya akan ucapan laki-laki. Pernikahannya yang hanya tinggal menghitung ja...