4

83 14 0
                                    

Hari ini entah kenapa Lia merasa ada yang salah. Salah yang sulit ia ambil sebab masalahnya, atau dia saja yang takut untuk menerima kenyataan yang mungkin tak sesuai keinginannya selama beberapa tahun terakhir ini.

Kun yang mengurung diri di kamar, Jaehyun yang meminta izin dan memohon untuk bicara dengan Kun, sedangkan ayahnya, Suho yang nampak sudah tak tahu harus bagaimana memberi pengertian pada pemuda yang akan berusia 21 tahun itu.

Lia tak tahu harus apa. Dia hanya bisa mengintip dan menguping semuanya dari balik pintu kamar. Mendengar Jaehyun memohon pada Kun, sedangkan sang ayah yang memintanya untuk pulang dulu.

Kepalanya terasa pusing, tubuhnya sedikit gemetar, bahkan ia tak sadar telah menggigiti jari tangannya.

Jika ia menarik kesimpulan,



Ah...tidak!

Hatinya tak mau mengakui itu. Dia...belum siap?

Siapa yang terluka? Bukankah kakaknya? Tapi dia pun sama.

Setengah dirinya ingin mendatangi sang kakak karena ia tahu saat ini kakaknya pasti tak baik-baik saja. Tapi setengah dirinya lagi bertanya,apa dia bisa melakukannya? Jika pada kenyataannya saja tubuhnya gemetar sekarang ini.

Semua seakan mengalir demikian tanpa ada hal yang berubah hingga akhirnya Jaehyun mengalah dan memutuskan menyerah. Dari sebalik pintu, ia sempat melihat wajah frustasi Jaehyun menemukan matanya. Namun bukannya ia terdiam menikmati waktu itu seperti biasa, tapi kali ini Lia langsung menutup pintunya. Entah kenapa, ini pertama kalinya ia merasakan sakit saat melihat tatap mata pemuda pujaan hatinya itu.

Tiga ketukan setelahnya ia dengar pada pintu kamarnya, namun tak mengubah posisinya yang terdiam membeku. Seakan ia tahu siapa yang ada di balik itu semua.

"Lia... Tolong katakan pada Kun. Kakak minta maaf, Lia. Kakak yakin kamu pasti bisa memahami keadaannya dan menjelaskannya pada Kun. Kakak yakin, karena kamu adalah gadis yang paling pengertian yang kakak ketahui..."

Sakit.

Itulah yang Lia rasakan setelah mendengarnya. Matanya terpejam erat diantara tangan yang saling menggenggam dan mulut masih menggigit kuku jarinya.

Meredam isakan?

Entah apa suara itu muncul dan terdengar atau tidak. Hidungnya bahkan terasa sudah tak bisa digunakan hingga ia harus bernafas dengan mulutnya.

Dalam hati ia hanya bisa terus berharap supaya Tuhan segera membuat Jaehyun pergi karena rasanya hembusan nafas pemuda itu saja sangat melukainya sekarang. Tapi meski begitu, bodohnya hatinya seakan tetap menolak mengakui kenyataan yang jelas terpampang di depannya.

"Ini bohong kan? Ya...mungkin ini hanya salah paham. Setidaknya... Mereka tak akan mungkin tega menyakiti kak Kun yang sudah sangat baik pada semua orang..."































Pintu kamar Lia berdecit tatkala Kun mendorongnya di tengah malam. Ia bisa melihat gundukan selimut yang sudah jelas isinya adalah sang adik. Mungkin tengah meringkuk? Sungguh, dia memang sakit. Tapi ia juga tak bisa lupa pada sang adik yang ia sudah bisa tebak sejak lama kalau gadis itu menaruh hati pada Jaehyun.

Yang lain mungkin tak sadar karena hanya dirinya lah yang paling mengenal adiknya. Sulit dijelaskan, tapi instingnya tentang Lia tak pernah salah.

Tak mau membangunkan, meski ia tahu Lia belum tertidur. Kun naik ke atas ranjang adiknya lalu memeluk Lia yang masih berada di dalam selimut. Iya bisa merasakan tubuh sang adik yang tersentak pelan karena kaget dan isakan tertahan membuatnya menarik senyum tipis. Mengusap sang adik penuh sayang dari batas selimut itu.

"Maafkan kakak. Seharusnya kakak tak pernah membawanya masuk dalam kehidupanmu..." Sesal Kun yang membuat Lia makin tak percaya. Bagaimana ada orang yang bisa menyakiti kakaknya seperti ini?

"Kisah cinta pertamamu harus berakhir seperti ini. Mendapatkan kenyataan yang membuatmu menjadi bungkam untuk pertama kalinya..."

Kun mempererat pelukannya pada sang adik hingga isakan Lia makin terasa mengeras.

"Harusnya kakak menjagamu. Tak membiarkanmu terluka oleh siapapun. Tapi kakak lah yang membawa pembuat luka itu padamu. Maafkan kakak meskipun kesalahan ini pasti tak akan terlupakan olehmu..."

"Maafkan kakak yang gagal membahagiakanmu..." Sesal Kun lagi.

Tanpa ia sadari, sang ayah, Suho tengah memandangi mereka. Memahami semuanya dengan mudah, melihat luka pada kedua anaknya secara bersamaan tentu juga menjadi tanda kegagalan untuknya sebagai seorang ayah.

Merasa jarang ada waktu untuk anaknya dan membebankan tugas dan tanggung jawab menjaga Lia pada Kun. Tak sadar seberapa berat beban yang putra sulungnya itu rasakan hanya untuk menjaga adiknya.

"Maafkan ayah, Kun...Lia..."















.
.
.





JERATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang