7

62 14 0
                                    

Lia melihat sekeliling kamar milik Kun di rumah yang akan segera mereka tinggalkan. Meski kamar itu sudah kosong, tapi kenangan mengenai berbagai macam aktivitas sang kakak dan dirinya disana masih terekam jelas di benaknya.

Seakan de Javu, Lia mengingat setiap saat dirinya masuk ke dalam kamar itu untuk menemani sang kakak. Entah hanya untuk berbicara maupun mengganggunya. Teriakannya setiap sang kakak yang kesal mencoba menangkapnya hingga tawa sang kakak yang entah kenapa langsung membuat matanya terpejam dengan tubuh merinding seketika.

Meski sudah seminggu berlalu, ia masih belum terbiasa dengan semuanya. Tak hanya dirinya, sang ayah pun nampaknya tak berbeda jauh dengannya. Itu sebabnya sang ayah mengajaknya pindah. Bukan untuk melupakan, tapi mereka pun tak mungkin bisa hidup dalam kenangan putra sulung keluarga itu untuk seterusnya. Suho tak ingin hal itu mempengaruhi psikis putrinya nanti mengingat bagaimana waktu terbesar Lia habiskan dengan sang kakak.

Tawa Kun masih menggema, bukan di ruangan, namun di pikiran Lia. Membawa sesak dan rasa yang sulit dijelaskan hingga ia sendiri mulai terusik dan menutup telinganya. Air mata mulai menetes kala suara itu masih terus, bahkan tak berkurang sedikitpun hingga pelukan hangat melingkupinya dan menariknya keluar dari kamar itu.

"Kak Kun..."

"Sttt... Sudah..." Bisik Suho mencoba menenangkan putrinya meskipun air matanya juga sudah tak tertahan. Memeluk Lia erat berusaha meredakan segala kekalutan dalam hati putrinya itu. Ia tak mau membuat Lia memburuk. Cukup hanya Kun. Jangan sampai ia gagal menjaga putrinya juga. Satu-satunya permata terakhirnya yang ia yakin Kun pun ingin dirinya bisa melakukan itu.

"Sakit yah... Dada ku sakit. Sesak. Sulit bernafas..." Isak Lia yang diangguki oleh Suho.

"Ayah tahu. Maafkan ayah ya, sayang. Seharusnya ayah tak mengizinkan kakakmu pergi jauh dari kita dalam keadaannya yang demikian. Maafkan ayah membuatmu kehilangan kakakmu..."

Lia menggeleng pelan dan membalas pelukan ayahnya. Siapa yang salah? Baginya kini,tak ada. Benar kata Jungkook. Semua memanglah sudah menjadi takdir Yang Maha Kuasa. Ada ataupun tak ada masalah sebelumnya juga jika sudah takdirnya, pasti akan berakhir juga.

Ia tak menyalahkan Jaehyun maupun Wendy juga. Nyatanya ia ingat itu pun tidak. Seminggu terakhir hari-harinya hanya dipenuhi kenangan dengan sang kakak. Bahkan Lia tak datang di acara kelulusannya yang akan diadakan beberapa hari lagi. Ia tak tahan meski untuk pergi pun rasanya berat. Kadang pilihan kita saat seperti ini hanya dua. Bertahan dengan kenangan yang tentu menyakitkan, atau pergi memulai semuanya dan menyimpan masa lalu sebagai pembelajaran.

Mereka memilih pergi untuk memulai yang baru. Karena hanya dalam waktu seminggu saja nampaknya kondisi psikis mereka sangat tertekan pada semuanya.

"Bertahanlah...sedikit lagi..."

































Pintu mobil terbuka saat suara mobil lain datang dan berhenti di dekat mereka. Menoleh, Lia bisa mengenali mobil siapa itu. Dan benar saja, tak lama nampak beberapa orang turun dari tiga mobil yang tiba. Wajah sedih, cemas dan bersalah bercampur aduk disana. Sangat ketara membuat sedikit senyuman tipis Lia sunggingkan. Setidaknya kakaknya masih diingat oleh teman-temannya,kan?

Melihat mobil barang disana, Taeyong langsung bergegas lebih dulu mendekat.

"Kalian mau kemana? Paman... Kenapa semuanya terburu-buru seperti ini?" Tanya Taeyong panik, sadar kalau dua orang ayah dan anak itu akan pergi dari sana.

"Taeyong—"

"Kalian bahkan tak mengabari kami. Mengabariku. Bukannya paman sudah mengenalku sejak lama. Dan kamu, Lia! Apa kamu tak menganggap ku kakakmu juga? Kenapa kalian sejahat ini?!" Tanya Taeyong lagi memotong ucapan Suho sambil memegang kedua bahu Lia untuk menatapnya. Namun gadis itu memilih menunduk.

JERATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang