6

76 16 2
                                    

Lia tak lagi bisa menangis. Meski hujan sudah siap menutupi semuanya, namun lukanya yang ia pikir akan membaik malah semakin buruk saja. Kenapa mimpinya malah berantakan sehancur ini? Setidaknya, jangan tentang Kun, kakaknya. Satu-satunya semangat terbesarnya.

Suara gemuruh terdengar pelan namun terus bersahutan membuat Lia ingin berteriak meminta langit untuk diam. Dia benci diusik untuk saat ini. Persis seperti permintaan Kun sebelumnya yang mengatakan ingin menenangkan diri di kampung halaman bersama nenek mereka.

Namun pada akhirnya, disinilah Lia. Duduk di sisi makam yang baru diisi. Mengumpulkan energi hanya untuk menopang tubuh supaya bisa bersimpuh saja ia tak mampu lagi. Sementara sang ayah yang menangis dalam diam memegangi payung untuk neneknya yang masih histeris.

Bodoh memang. Apa ia benar-benar menyayangi sang kakak? Tapi kenapa ia tak bisa menangis seperti yang lainnya?

"Hey..."

Jungkook merendahkan diri disebelahnya sembari mengusap kepala gadis yang sejak dirinya tiba di rumah duka nampak menatap kosong pada peti sang kakak. Bahkan sampai peti itu sudah kembali ke bumi pun Lia masih nampak sangat kosong tanpa ekspresi. Meski begitu ia tahu, Lia mungkin sudah menangis sepanjang hari selama 3 jam perjalanannya ke rumah sang nenek bersama ayahnya. Saat ini Lia sudah sangat hancur sampai tak tahu harus bagaimana lagi meluapkan semuanya.

Ia pun sebenarnya tak sengaja mendengar dari salah satu teman Lia yang merupakan kenalannya mengatakan Lia izin pulang lebih dulu karena sang kakak tiada. Niat awalnya datang ke sekolah Lia untuk penyuluhan kampus malah berakhir dirinya menyusul gadis itu ke desanya. Gadis yang sudah kehilangan cahayanya karena sang pelindung hidupnya telah pergi untuk selamanya.

"Tak apa, menangislah..."

" Aku lebih tenang melihatmu menangis sekarang daripada melihatmu terdiam seperti ini..."

Mengabaikan tubuhnya yang juga telah basah kuyup karena Lia yang menolak dipayungi, mendekap gadis itu lembut. Meski tak terdengar isakan, ia bisa sedikit tersenyum saat merasakan tangan mungil gadis itu meremas kemeja basahnya, menyalurkan perasaan yang jelas sulit ia utarakan saat ini.

"Ketakutan ku..." Lirih Lia yang dijawab gelengan pelan oleh Jungkook. Ia mendekap lebih erat tubuh gadis yang matanya masih terkunci pada foto dan nisan sang kakak.

"Jika semua sudah menjadi takdir Tuhan, tak ada yang bisa mencegahnya. Jangan menyalahkan dirimu untuk ini..." Bisiknya.

Sungguh, ia sendiri tak ingat sejak kapan dirinya bisa selembut itu menghadapi orang lain. Dia, Jeon Jungkook adalah si bungsu dingin, nakal dan menyebalkan kalau kata saudara dan teman-temannya.

Hanya untuk memenuhi rasa penasarannya supaya bisa berteman dengan Lia, ia sedikit merubah dirinya. Tapi hal yang dia pikir hal kecil itu nyatanya tanpa sadar memberikan dampak bagai tetesan air. Pelan tapi berhasil menggerus batu dalam dirinya.

"Ayo kita pulang. Hujan akan semakin deras..." Ajak salah seorang tetangga pada mereka yang masih setia disana. Sebenarnya tak banyak orang. Hanya kerabat, tetangga dan mereka saja yang mengantarkan Kun ke tempat terakhirnya. Itu karena semua terjadi mendadak. Bahkan mengabari siapapun belum dilakukan oleh Suho. Mungkin nanti? Setelah dirinya juga lebih tenang dengan semua hal yang terjadi begitu cepat. Bahkan Jungkook yang sempat melihat akun base kampus saja belum melihat adanya pengumuman ini.

"Ayo Lia..."

Suara sang nenek membuat Jungkook menoleh. Ia tahu Lia belum siap pergi dari sisi kakaknya jadi Jungkook memberi kode pada yang lain untuk pergi lebih dulu. Biar dirinya yang menemani Lia disana sebentar lagi.

"Aku pikir kak Kun sangat kuat..."

"Dia terlalu sempurna jika itu menjadi sifatnya juga. Kau tahu, kakakmu adalah pemuda yang paling ideal dalam berbagai hal. Dia mendapat julukan manusia sempurna dari yang lainnya..." Ucap Jungkook berusaha membuat persepsi Lia tetap baik mengenai kakaknya. Semua hanya kebetulan. Kebetulan saja motor berkecepatan tinggi itu lewat hingga Kun yang sedang berjalan di setapak desa harus refleks melangkah menepi hingga tanpa diduga pijakannya lemah dan malah menjatuhkannya kedalam lembah yang cukup dalam.

Kun tak mengakhiri hidupnya. Hanya saja buku takdirnya memang terhenti sampai disana hingga kecelakaan tanpa banyak benturan itu saja bisa mengakhiri hidupnya.

"Aku rindu kak Kun..." Lirih Lia yang tak hanya menusuk telinga namun juga hati Jungkook. Kali ini otaknya dengan baik bisa membayangkan dirinya yang harus kehilangan sang kakak seperti yang Lia alami. Meskipun sudah cukup lama ia pisah rumah dengan sang kakak yang sudah mandiri,katanya. Tapi ya namanya saudara, saling mengganggu dan merusuh itu tetap terjadi.

Mungkin dia akan melakukan hal yang sama dengan Lia. Lidah dan tubuhnya akan kaku, tak tahu harus bereaksi seperti apa dengan kejadian secepat itu.

Tangan kekar dengan beberapa tato yang dibuat sejak masuk kuliah itu mempererat dekapannya hingga wajah Lia kini mulai beralih dan bersembunyi di dadanya. Sampai akhirnya suara isakan itu terdengar bersamaan dengan tubuh yang gemetar membuat Jungkook menarik sedikit senyuman dan mengusap punggung ringkih gadis 18 tahun itu. Ingatkah bahwa dirinya lebih memilih melihat Lia menangis daripada diam seribu bahasa seperti tadi.

"Aku takut. Aku merasa sendiri. Aku kehilangan kak Kun yang selalu bersamaku, kak. Aku harus apa sekarang? Bagaimana nanti hidupku tanpa kak Kun yang selalu membantuku?"

Jungkook mengangguk pelan mulai memahami dalamnya hubungan persaudaraan Kun dan Lia. Tapi entah kenapa dia tak ingin Lia sampai patah arang disana. Ia tak suka mendengar Lia yang seperti kehilangan arah.

"Semuanya akan baik-baik saja. Percaya padaku..."





.
.
.









Author besok mau upload sampe end.
Jadi jangan sampe ke skip satu ceritapun ya!

Biasanya kalau author upload lebih dari satu pasti yg baca riweh sampe loncat2 bab 😂👍🏻


JERATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang