Control

46 7 0
                                    

"Hari ini aku memutuskan untuk ijin kerja dan membawamu ke rumah sakit,"

Itu yang Yeji dengar pertama kali pagi itu saat dia keluar dari kamar dan mendapati ternyata suaminya masih di penthouse. Hal yang langka memang mengingat ini sudah jam 7.30 pagi. Biasanya Beomgyu sudah berangkat jam 7 pagi.

"Tapi aku tidak sakit," ucap Yeji polos.

"Tentu saja kau sehat sekali," Beomgyu menarik satu sudut bibirnya ke atas sambil menatap pakaian Yeji. Baju tidur atau lebih tepatnya lingerie tidur berwarna hitam berenda sepanjang paha atas yang sekarang ditutupi jubah namun tetap memperlihatkan belahan dada dengan jelas. Biar kuperjelas, maksudnya Yeji tadi malam masih tetap melayani Beomgyu.

"Kita ke rumah sakit sesuai saran ibuku. Mengecek kualitas genmu sebagai persiapan memiliki keturunan,"Beomgyu kembali memakan roti bakar yang dia bakar sendiri. Memang soal makan, Beomgyu tidak pernah memaksa Yeji memasak. Jadi walaupun Yeji belum masak, dia sudah biasa mengisi perutnya sendiri.

"Keturunanan?" Yeji menujuk dirinya sendiri dengan kebingungan. Beomgyu mengangguk santai namun Yeji tidak santai. Dalam hatinya ia bertanya-tanya apakah Beomgyu serius. Itu artinya dia menyuruh Yeji mengandung anaknya? Apa dia benar-benar mau memiliki keturunan dari gadis miskin sepertinya?

"Sudah cepat mandi dan bersiaplah!" titah Beomgyu yang risih melihat Yeji kebingungan sendiri seperti mendapat lotre. Yeji kaget dan langsung menurut, gadis itu masuk ke kamar lagi.

Beomgyu hanya diam menatap kepergian Yeji.

Jika boleh jujur, Beomgyu tidak ingin memiliki anak, apalagi dari gadis biasa seperti Yeji. Namun perintah kakeknya adalah mutlak di keluarga ini.

"Toh cuma punya anak ini. Ayah juga punya anak dari pelacur simpanannya," gumam Beomgyu.


***

"Pemeriksaannya sudah selesai. Hasilnya akan dapat diketahui jam 2 nanti. Namun jika Tuan Choi menginginkan kami mengirim saja hasilnya, juga boleh," ucap petugas rumah sakit.

"Ya boleh, itu bagus. Saya tidak mungkin menunggu lama disini. Telepon saya saja nanti. Ayo, Yeji," ucap Beomgyu sambil meninggalkan ruangan bertembok putih itu. Yeji menurut patuh dan berpamitan pada petugas yang melayaninya.

Sepanjang jalan menuju parkiran, Beomgyu tidak mengatakan sepatah kata pun. Mereka berjalan sambil berpegangan tangan namun Yeji merasa dia menggenggam tangan orang asing. Tentu saja Beomgyu melakukan ini untuk pencitraan. Setidaknya Yeji harus bersyukur Beomgyu masih memperlakukannya selayaknya istri di depan orang lain.

"Mau kemana?" tanya Beomgyu saat mereka sudah di dalam mobil, bersiap meninggalkan rumah sakit.

"Eh?"

"Ini sudah mau jam 12, mau kemana? Mau makan? Makan dimana?" Beomgyu memperjelas pertanyaannya.

"Terserah," jawab Yeji patuh. Beomgyu menatap Yeji tajam, membuat Yeji takut.

"Bisa jawab selain terserah? Dimana kontrol dirimu jika apa-apa kau hanya mengikuti orang? Menikah karena disuruh. Makan juga ikut orang. Apa-apa terserah seperti bukan manusia saja tidak punya keinginan!" bentak Beomgyu. Yeji tersentak. Namun dia terdiam. Memang iya Yeji merasa dirinya bukan manusia, tapi seperti mayat hidup. Tidak punya keinginan lagi saking lelah dan menyerah dengan hidup.

Menjadi istri Beomgyu, menemani, melayani suami di ranjang, itu semua dia lakukan karena tanggung jawab selayaknya seorang istri. Bukan karena keinginannya!

"Hei jawab!!"

Yeji tersentak lagi saat dibentak Beomgyu kedua kalinya. Jantung Yeji serasa berlari marathon, dia selalu takut dibentak seperti ini. Dia merasa semakin mengecil jika ditekan dan dibentak, seolah powernya dihilangkan.

BILA [BEOMGYU YEJI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang