TGtB (04)

2.1K 200 13
                                    

Lanjut guys, Selamat Membaca!
|

|

|

|

Revan pun keluar mobil dengan santainya menuju ke kantin tempat abang dan adiknya berada. Saat ini di sepanjang jalan banyak tatapan kagum terhadapnya apa lagi tubuh Revan yang bak model, tinggi, bibir merah dan hidung mancung ditambah kaca mata hitam miliknya membuatnya semakin terlihat sempurna. Sekolah mendadak heboh, kedatangan Revan yang pastinya dinanti-nanti akhirnya sudah sembuh pasca kecelakaan tempo lalu.

Revan tak bertanya pada siapapun karena Revan asli telah memberikan seluruh memorinya pada Reva, kecuali perihal oma dan opanya. Hingga dia pun sampai di kantin dan mencari keberadaan abang dan adiknya yang ternyata sedang asik bercerita dengan para sahabatnya. Revan tak langsung menghampirinya dan memilih membeli makan terlebih dahulu.

Shrek...

Suara tarikan kursi membuat mereka yang berada di kantin menoleh ke sumber suara. Ternyata di sana ada seorang pria tampan dengan makanan di tangannya. Tanpa permisi Revan pun duduk di antara mereka.

"Nih di makan, gue udah pesenin makanan buat abang dan adek jangan banyak tanya, sekarang di makan dulu, nanti mubazir," ucap Revan lalu menyantap makanannya hal itu membuat abang dan adiknya serta sahabatnya heran.

"Revan lo udah sembuh?" tanyanya yang di jawab anggukan saja, lalu Zean dan Chris pun memakan makanannya.

"Alhamdulillah kenyang," ucap Revan saat makanannya habis.

"Jadi lo ke sini mau jemput kita?" tanya Zean.

"Ya lo pikir gue ke sini cuma mau numpang makan doang," kesal Revan. "Udah ayo balik kalian juga cape kan," lanjut Revan.

"Rev lo lupain kita?" tanya Floran.

"Mm.. Siapa ya, gue gak kenal sama kalian," ucap Revan jail.

"L-lo beneran gak ingat sama kita," ucap Ardhan.

"Hahaha... Bercanda kok, muka kalian lawak banget," ucap Revan tertawa.

"Ken ketawa dong, jangan diem aja," ujar Ollan.

"Bacot lo," ucap Ken ingin berlalu dari sana, namun tanpa sengaja malah menabrak Revan.

"Sorry," ucapnya menegakkan tubuhnya, pasalnya  sedari tadi dia hanya menunduk.

"A-abang.." gumam Revan lirih dan masih dapat didengar oleh Ken. Keningnya mengkerut, bukannya Revan tak pernah memanggil dirinya dengan embel-embel abang.

"Tatapan mata itu mengingatkan ku padanya, abang kangen sama kamu dek," batin Ken.

Revan mundur 2 langkah, matanya berkaca-kaca, dari sorot matanya gak bisa bohong kalo dia sangat merindukan sosok didepannya. Ken ialah abang kandung dari Reva. Bahkan dia gak menyangka bisa bertemu dengan abangnya secepat ini. Revan langsung berbalik badan dan pergi dari sana, meninggalkan mereka semua dalam keadaan  kebingungan.

Mereka semua memutuskan untuk menyusul Revan dan berjalan beriringan hingga mereka sampai di parkiran. Saat melihat abang dan adeknya ia suruh masuk terlebih dahulu. Setelah itu baru dia memasukan barang bawaannya dan masuk ke kursi kemudi dan pergi dari sekolah. Tanpa berpamitan pada teman-temannya terlebih dahulu.

Suasana mobil sangat sunyi, Revan yang masih diam saja dan enggan untuk mengeluarkan suaranya. Zean dan Chris pun merasa ada yang berbeda dari Revan. Tibanya di pekarangan rumahnya, setelah membantu menurunkan koper keduanya. Revan berjalan duluan, niatnya ingin cepat sampai kamar. Namun langkahnya terhenti saat melihat sepasang paruh baya, jelas itu oma dan opa dari Revan.

Revan a.k.a Reva ingin mengabaikannya, tapi tubuh ini seakan menolak untuk masuk. Alhasil dia putar balik dan kembali ke mobil lalu pergi dari rumah. Gracio, Shani, Zean dan Chris yang melihat itu menghela nafas, mau sampai kapan mereka kejar-kejaran seperti ini.

"Sini sayang duduk dulu, gimana sama konsernya?" tanya opa.

"Lancar," jawab Zean.

"Oma opa kita ke atas dulu ya mau istirahat," ucap Chris, dia tau mood abangnya sedang buruk melihat Revan langsung pergi gitu aja.

"Yaudah sana," ucap oma.

Zean dan Chris pun pamit ke atas, menuju kamar Revan karena mereka sangat merindukannya. Disusul Shani di belakangnya ikut masuk ke kamar tersebut.

"Bun telpon Revan deh, tanyain dia dimana?" ucap Zean khawatir.

"Sebentar"

Shani beberapa kali menghubungi Revan tapi tidak ada satu pun yang diangkat. Ia menggeleng lemah, sepertinya ponselnya mati.

"Kenapa tiba-tiba banget oma opa dateng sih," gerutu Chris, dia menantikan kumpul keluarga dengan anggota yang lengkap.

Sementara di bawah, Gracio dicecer pertanyaan tentang Revan oleh kedua orang tuanya.

"Cio kamu harus bujuk Revan sampai dia mau buat nerusin bisnis keluarga kita," tegas opa.

Gracio menghela nafas, "Pa, apa gak sebaiknya kita dukung kemauan Revan, biarkan dia memilih apa yang membuat dirinya bahagia,"

"Papa lupa atau gimana, Revan itu pintar makanya bisa jadi pendiri sekaligus leader dari grup band yang ditempati Zean. Dia sudah sangat membanggakan keluarga kita, jangan pilih kasih gitu dong, papa aja bisa dukung Zean, kenapa Revan enggak?!"

"Maka dari itu karna dia pintar jadi harus memanfaatkan kecerdasannya," Gracio membulatkan matanya, begitupun dengan Shani yang mendengar pembicaraan mereka di tangga.

"Bisnis gelap itu?" ucap Shani lalu duduk disamping suaminya.

"Jaga bicaramu Shani!" sentak opa.

"Apa yang dikatakan Shani itu memang benar kan, kalo papa memang punya bisnis itu. Dan papa mau menjerumuskan Revan ke hal-hal yang negatif," ucap Gracio membela istri dan anaknya.

"Ayo pa kita pulang aja, bukannya disambut dengan baik malah kayak gini," ucap oma melirik sinis Shani dan menarik tangan suaminya.

Gracio dan Shani menghela nafas lelah, kedatangan mereka hanya buat keributan di mansion ini. Tentunya akan membuat  satu anggota keluarga ini pergi entah kemana.

*****

Pada pukul 4 pagi, Revan baru saja pulang ke mansion. Ia pergi ke kamar dan langsung tidur tanpa bersih-bersih dahulu.

Maid yang memang sedang masak di dapur pun menyuruh temannya untuk menggantikan dirinya. Ia beralih ke kulkas untuk mengambil minuman dingin, menyiapkan kebiasaan Revan saat bangun tidur. Dikamarnya ada kulkas kecil khusus miliknya. Maid itu pun pergi ke atas.

"Selamat pagi ibu," sapa maid.

"Pagi, mau nganter minuman buat Revan ya"

"Iya, den Revan baru saja pulang," ucap maid.

"Kalo gitu biar saya saja dan lanjutkan pekerjaanmu," ucap Shani mengambil nampannya. Maid itu mengangguk dan turun lagi ke bawah.

Shani menuju kamarnya dan membuka pintu itu perlahan. Ia terkekeh saat melihat cara tidur anak tengahnya. Kepala menjuntai, kaki di headboard masih memakai sepatu, selimut jatuh. Rasanya seperti bukan Revan yang ia kenal.

Ia mendekat mengusap lembut kepalanya lalu melepaskan sepatunya. Shani ingin membenarkan posisi tidurnya. Namun usahanya malah membuat Revan terusik.

"Ke-kenapa bun," ucapnya bangun dan meraih gelas di nakas yang baru dibawa Shani tadi.

TBC.

Gimana? Masih mau dilanjut gak nih?
Bertemu di bulan depan yaa...

Jangan lupa vote dan komen
See you next chapter!

Transmigrasi Girl to BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang