TGtB (14)

513 83 4
                                    

Selamat Membaca!
.
.
.
.
.

Pada pukul 2 dini hari, Revan terbangun dari tidurnya. Kepalanya pusing, tubuhnya sakit, dan badannya panas. Ia lantas menoleh ke samping kiri kanannya, mencium pipi ayah dan bundanya. Lalu bangkit ke kamar, meski harus tertatih.

Badannya yang masih lemas ia paksakan. Meraih jaket dan kunci mobilnya, berjalan pelan ke garasi. Menghidupkan mobilnya, kemudian pergi dari mansion ke suatu tempat.

Vernon, yang baru saja keluar dari ruang kerjanya, melihat Revan yang berjalan sempoyongan keluar mansion. Ia segera menelpon Evano untuk membuntuti kemana perginya anak itu. Tubuhnya terasa kelelahan, ia sedang mengurus masalah di kantor dan menggabungkan keluarga ini agar menjadi satu.

Saat membuka pintu kamar, pandangannya jatuh pada sang istri yang sedang melamun. Vernon menghampirinya, mengusap lembut rambut panjangnya, kemudian menariknya ke dalam pelukannya.

"Sayang kenapa?"

"Aku cuma kepikiran Reva, mau kemana dia tengah malam gini"

"Kamu lihat?" Kinal mengangguk, ia takut terjadi sesuatu diluar sana.

"Tenang ya, aku udah suruh Evano buat ikutin Reva. Sekarang kita tidur, kamu bisa tanyakan pada anaknya besok," ujar Vernon lalu mengajak istrinya agar kembali berbaring.

Usapan lembut yang Vernon berikan membuat Kinal dengan cepat kembali ke alam mimpi. Kemudian, Vernon meraih ponselnya menanyakan kembali putrinya pada Evano. Setelah mendapat info tersebut, barulah ia bernapas lega. Namun begitu, ia tetap mengkhawatirkannya.

"Reva Reva.. Ternyata kamu masih sama seperti dulu," gumam Vernon menggelengkan kepalanya.

Skip pagi...

Di dapur, ada tiga bidadari yang sedang memasak. Sementara Muthe anak cantik, manis, dan manja itu tengah menyirami tanaman di belakang. Manjanya sama Reva saja sih, kalau ke ibunya jarang diperlihatkan.

"Kak, Revan pindah tidur di kamar Kakak?" tanya Shani sembari sibuk mengupas bawang.

"Nggak, dia kan keluar semalam," balas Kinal seadanya.

"Hah.. Astaga, dia lagi demam loh Kak. Bener-bener tuh anak, kebiasaan buruknya gak bisa dihilangin," sungut Shani mengelus dada.

"Reva juga kayak gitu, dahlah itu badan sama jiwanya udah klop banget, makin susahlah.." sahut Kinal menghela napas.

"Ini kalau Muthe teriak, pasti Mbak udah taulah ya kenapa," ujar Mbok Eli, yang sudah sangat hafal dengan anak majikannya.

Tak berselang lama, Muthe datang ke dapur setelah menyelesaikan pekerjaannya di belakang. "Ibu, bunga di belakang katanya mau dijual, mumpung lagi cantik-cantik," serunya.

"Gak jadi, ada yang punya, nanti Ibu kena omel lagi. Itu bunga kesayangan Kakakmu loh," sahut Kinal mengurungkan niatnya untuk menjual bunga tersebut.

"Ah iya, Kak Reva udah balik, terus yang di depan gak mau dikurangin?" ucap Muthe setelah itu meneguk segelas air putih.

"Gak mau ambil resiko sih, nggak Bapak gak anak sama aja. Itu bunga berkurang satu atau layu aja uring-uringannya naudzubillah, apalagi kalo tau dijual, bisa-bisa runtuh nih mansion," ucap Kinal dramatis, namun kenyataan benar begitu.

"Yaudah, Muthe mau siramin tanaman di depan," ujarnya berlalu dari dapur.

Baru juga pergi sepersekian detik yang lalu, si Muthe sudah teriak-teriak memanggil Kinal.

"IBUUUUUU"

"Tuh kan, ayok Shan, kita ke ruang tengah," ujar Kinal menarik tangan Shani meninggalkan dapur.

Semua penghuni mansion yang mendengar teriak itu berbondong-bondong menuju sumber suara. Kinal yang lebih dulu sampai langsung memangku kepala Revan, sementara Shani kembali ke dapur mengambil air dingin.

"Ya Tuhan sayang, kenapa kamu bisa sampai luka kayak gini," ucap Kinal khawatir.

"Tolong bantu minumin dulu air dinginnya, nanti dia bakal bangun," ucap Shani menyodorkan gelas berisi air dingin itu ke mulut putranya.

Glek glek..

"Mama.. Bunda.."

Revan membuka mata, yang ia lihat pertama kali adalah wajah khawatir dari Mama dan Bundanya. Lalu, memeluk dua orang yang begitu berarti dalam hidupnya. Mengusap punggung itu perlahan.

"Aku baik-baik aja, Mama sama Bunda gak perlu khawatir okey," ujar Revan setelah melepaskan pelukannya.

"Gimana Bunda dan Mama gak khawatir, kondisi kamu aja kayak gini sayang," ucap Shani menyentuh pipi yang terluka, meski darahnya sudah mengering.

Revan menggenggam tangan Shani, meyakinkannya bahwa dia baik-baik saja. Hingga suara teriakan membuat atensi mereka beralih lalu menoleh ke belakang.

"EVANO!"

"I-iya, saya Tuan," ucap Evano menunduk.

"Kenapa lalai?" ucap Vernon tegas.

"Maafkan saya Tuan, saya bisa jelasin," balas Evano takut.

"Apalagi yang mau dijelasin, itu anak saya udah terluka begitu," ucap Vernon tak ingin menerima alasan lain.

"Pa.. Udahlah, ini bukan kesalahan Bang Vano. Papa tenang dulu, biar Bang Vano yang jelasin kejadiannya gimana." Revan langsung melerai keduanya. Bahkan Revan berada ditengah-tengah keduanya dan berhadapan langsung dengan Vernon.

"Gak bisa gitu dong Rev, dia udah lalai jagain kamu. Kalo kamu sampai kenapa-kenapa gimana? Cukup kemarin Papa kehilangan kamu," ucap Vernon masih dengan nada tegasnya.

"Yang penting kan sekarang aku udah ada di depan Papa. Kalo bukan karena Bang Vano, aku pasti gak akan ada di sini, bahkan bisa saja aku hangus bersamaan dengan mobil sialan itu," ujar Revan menatap sinis papanya. Baru kali ini dia menatap papanya dengan tatapan sesinis itu.

"Papa tuh gak tau kejadiannya gimana, jadi jangan berlagak kalo Papa tau segalanya," sambungnya terkekeh lalu berjalan memutari Vernon sembari bertepuk tangan beberapa kali.

"Rev, kendalikan emosi lo," ujar Mira menatapnya tajam.

"Gue gak mau lo salah langkah, redam emosi lo sekarang," ucap Raisha tegas.

Suasana jadi berubah menjadi tegang. Atensi mereka hanya fokus pada Revan yang sesekali tertawa. Di antara mereka ada yang bingung dan ada yang sudah paham.

"Aduh gimana ini.." gerutu Ken dalam hati.

"Tuan muda, kontrol emosinya," pinta Evano menatap lekat mata bersinar itu. "Kenapa warna matanya berbeda," batinnya.

Shani mendekat, menyentuh lengan Revan lembut dan menariknya agar berdekatan dengan dirinya. Menangkup pipinya agar menatap matanya balik. Shani maupun Revan mempunyai bola mata yang sama, berwarna hijau.

"Bunda.." lirihnya.

"Mau sampai kapan kamu menolaknya?" tanya Shani memeluk anak tengahnya. "Sesuatu yang kamu tahan akan semakin besar nantinya, cobalah menerimanya. Bunda pasti akan bantu menyempurnakannya," sambungnya mengusap lembut kepala anaknya.

"Sekarang Bunda obatin ya lukanya," ujar Shani, namun dibalas gelengan.

"Revan lapeeerr bundaa.." ucapnya cemberut.

"Mending kita sarapan aja dulu," pungkas Kinal.

Revan dengan semangat menarik tangan Shani. Mereka duduk berdampingan, tak mau jauh-jauh dari Bundanya. Mereka hanya menatap ibu dan anak itu tanpa mengganggunya sedikitpun.

"Bun, bisa nggak mata kalian berubah kayak biasanya? Chris jadi agak ngeri mau natap kalian," ujarnya was-was.

TBC.

Jangan lupa vote dan komen
See you next chapter!

https://saweria.co/kaylaravsa
.
.
https://whatsapp.com/channel/0029VaiSFs8CMY0J9vGMG70z

Transmigrasi Girl to BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang