Chapter 19 : i'm broken, do you hear me?

324 6 4
                                    

"jadi kau masih belum mengikhlas-kan kepergian Anna?" Jeanne menatap lawan bicaranya dengan intens, ia hanya menunggu jawaban yang akan diberikan.

Niall mengambil nafas dalam, mengumpulkan oksigen sebanyak yang dia bisa,  percuma hatinya kembali terasa tercekat "aku sudah mencoba"

sedetik kemudian, Jeanne mengetukkan jarinya kemeja seraya mengigit bibirnya bawahnya cemas "sebenarnya aku sudah ingat apa yang Anna pesan untukmu,"

Jeda.

Niall yang tadinya menunduk langsung dengan sigap mengangkat kepalanya sambil menatap Jeanne dengan antusias "apa?"

"Anna hanya bilang terimakasih padamu, hm.."

"Anna bilang dia mencintaimu bahkan mungkin sebelum kau mencintainya.."

Niall tertawa sumbang, air mata yang ia tahan tak bisa lagi dibendungnya. Hatinya seperti hancur berkeping-keping, ingatan-ingatan bersama wanita itu terbuka lebar lagi seakan menuntun Niall untuk terus mengenangnya dari hari ke hari. Membuat dia semakin terpuruk.

"Niall...aku, aku tidak bermaksud.." Jeanne mulai merasa panik karena Niall yang mulai meneteskan air mata kesakitannya "maaf,"

"kau tidak perlu minta maaf, kau tidak salah.." lirih Niall ditengah tangisnya yang ia tutup-tutupi.

Jeanne menunduk tidak tau apa yang harus ia katakan "kau seharusnya tidak perlu terpuruk seperti ini, jangan pikir Anna akan senang melihat dirimu begini. Jangan pikir orang disekitarmu akan betah melihat keterpurukanmu,Niall. Jangan turuti masa lalu yang membuatmu sakit itu, biarkan dia berlalu, aku yakin Anna tidak akan bangga melihat kau yang sekarang, Aku mohon kau tidak boleh larut dalam kesedihanmu, Niall" Jeanne merasa matanya memanas, Ia sendiri bingung dengan dirinya, ada apa dengannya yang ingin menangis seperti Niall juga?

Niall menatap Jeanne dengan tatapan tak terbaca sambil tersenyum tipis ia mulai bangkit dari kursi yang ia duduki "aku ingin pulang, kau- apa kau ingin kuantar?" tanyanya

Jeanne menggeleng tipis sambil tersenyum "tidak, terimakasih."

---

"good day, horan?" Harry melangkah maju mendekati Niall yang sibuk membuka-buka isi dalam lemari es, seperti mencari sesuatu.

Niall membalikkan badannya sambil tersenyum manis "ya." balasnya singkat

Harry balas tersenyum lalu mendekatkan dirinya pada pintu lemari pendingin itu "sedang cari apa?" tanyanya

"tidak banyak, hanya brownies, ice cream, soft drink, chocolate, yogurt, beberapa snack kentang, ah..apalagi ya?"

Harry tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya "kau sudah kembali, dude!" dengan secepat kilat dia memeluk Niall dengan eratnya "Niall sudah kembali wohoo!" teriak Harry lagi,

"heh-" kesal Niall sambil melepaskan pelukan Harry yang membuat dia sesak nafas.

"hahaha. bye, curly!" pamit Niall seraya membawa makanan-makanan yang ia ambil dari lemari es kemudian berjalan kearah ruang televisi

"i love you, Horan!" teriak Harry tiba-tiba.

Niall tertawa sejenak "Love you more, Moron!" gelaknya.

**

Semua orang yang singgah dalam kehidupanmu pasti lama-kelamaan akan pergi. Jangan egois untuk menahan mereka lebih lama.

Air mata yang kau keluarkan karena kepergian mereka tidak akan pernah mengubah segalanya, itu hanya harapan tolol yang selalu kau dambakan.

Aku melangkah lebih pelan lagi, kueratkan genggaman mawar putih yang setia melekat di tanganku.

Lagi. Kali ini aku berkunjung kerumahnyaRumah yang ia tempati 3 bulan lamanya. Aku tidak bisa mengetuk rumah tersebut, tidak bisa memaksanya untuk membuka pintu rumah itu.

Semakin dekat aku merasa jantungku turun ke perut,mataku memanas "Hi, An" aku terduduk.

Akumeletakkan mawar putih yang kepegang keatas makamnya, mencium batu nisannya dengan amat pelan "i miss you" bisikku tertahan.

Berapa lama lagi aku akan menjadi menyedihkan seperti ini? Berapa lama lagi aku akan mengakhiri keputusasaan ini?

Jujur, aku menyesal karena sudah mencintainya sampai sedalam ini. Aku menyesal, sungguh.

"apa kabarmu, sayang?" kepalaku masih kubenamkan di batu berwarna abu-abu tersebut, menciumnya sekali lagi. "oh ya, seharusnya kau tidak perlu menanyakan kabarku balik," selanjutnya aku hanya tertawa sumbang.

"aku rindu padamu, aku rindu, rindu" suaraku lenyap setelah merasa sesak yang menyiksa jantung dan dadaku. Jangan keluarkan air mata itu lagi, Horan.

"Anna, bagaimana bisa aku terus melanjutkan hidupku jika begini?" Aku menegakkan badanku, menatap makamnya serius, Seperti akan mendapatkan jawaban dari sana.

"bahkan kau tidak pernah mengucapkan selamat tinggal untukku,"

"bahkan kau tidak pernah bilang jika kau mencintaiku"

"kau jahat, ya kau jahat.. Annabellia."

Aku diam sejenak sambil mengatur nafas.

"apa bisa kau menghitung sudah berapa banyak mawar putih yang aku bawakan untukmu?"

"apa kau bisa menghitung berapa butir seharinya air mataku jatuh hanya karena mengenangmu?"

"apa kau bisa merasakan sakit hatiku? bisa merasakan hampanya aku tanpa mu? kau lebih berharga dari pada air, udara, dan makanan bagiku, Annabellia Grace"

suaraku kembali tercekat, aku terisak. Kini kau bisa melihat betapa cengengnya Niall Horan.

"Hi, Niall" Aku mengerjap seketika. Suara itu semakin jelas, semakin mendekat dan dengan  jelas pula pemilik suara itu menyentuh pundakku.

Tubuhku bergetar, wajahku memucat, air mata yang akan meluncur itu tiba-tiba terhenti.

Tolong, jangan berpikir jika Anna kembali, Horan.

"Niall, lihat aku" pinta sang pemilik suara dengan lembut, Ia menurunkan badannya dan mengarahkan badannya ke badanku, meraih wajahku dengan tangannya yang selembut kapas "Niall, ini Jeanne" katanya.

"Jeanne?"

"Iya ini aku.."

Sedetik kemudian aku ambruk dalam pelukannya, Menangis meskipun tertahan. Jeanne merapatkan badannya dan memelukku erat, memberi beribu-ribu kehangatan yang menjalar ntah dimulai dari mana "sudahlah, Niall" katanya lembut seraya mengusap rambutku

"ikhlaskan dia,"

Catching Feelings (Niall Horan Fan Fiction)Where stories live. Discover now