Chapter 22 : Same

268 3 0
                                    

Please read this story with a amazing song belongs to one of my favorite singers. Adele - Hiding My Heart. 

                Siang itu seperti biasa Jeanne keluar dari apartement nya menggunakan Denim Dresses sepanjang lutut dengan rambut tergerai indah. Floral sneaker menutupi kaki nya yang mulus. Dia mulai berangsut keluar sedikit tergesa-gesa, cuaca hari ini mendung. Awan hitam dimana-mana, cuaca London yang seperti ini paling ia benci. 

                   Dia melangkah dengan lebar di trotoar jalan,sama sekali tidak memperdulikan orang yang lalu-lalang di sekitarnya. Tujuan Jeanne hanya satu, Rumah Sakit. Pagi tadi petugas dari Royal London Hospital menelfon-nya mengabarkan keadaan Nathan yang semakin mengkhawatirkan, tidak ada lagi tanda kehidupan pada pria 21 tahun itu. Jantung Jeanne berdebar hebat ketika mendengarnya, air mata tak mampu lagi dia keluarkan bagaimanapun caranya ia harus bertemu Nathan seberapa pun kemungkin hidup belahan jiwanya itu.

              Jeanne berlari menelusuri lorong rumah sakit, pikiran dan jantungnya seakan macet seketika waktu ia mulai berdiri di kamar nomor 134. Dia memutar pintu, lalu masuk dengan perlahan. Ada 2 orang dokter dan seorang suster di dalam sana, memeriksa Nathan. Memeriksa kerja jantungnya, memeriksa ini dan itu seraya menggeleng pasrah.

               Jeanne termenung menatap lurus dengan tatapan kosong, jangan biarkan aku kehilangan dia. Cukup sudah air mata yang ku keluarkan. Jangan biarkan dia pergi. Jangan biarkan Nathan pergi ke surga tanpa aku.

                    Jeanne mendongak mendapati seorang suster kembali menggeleng lemah, dua orang dokter dengan wajah frustasi. Otomatis sehabis melihat itu jantungnya seakan rontok, pandangannya kabur dan yang paling parah kakinya seakan tak mampu menopang tubuh sendiri. Kain putih mulai dinaikan perlahan. Sedetik kemudian tenaga medis itu pun keluar dengan wajah menyesal dan menyisakan Jeanne dengan Nathan. Nathan yang sudah pergi melayang ke surga.

              Dia sudah terjatuh tidak sanggup bangun lagi, wajahnya pucat pasi dengan tangan bergetar hebat. Matanya tetap kering tak mampu mengeluarkan air mata. Berangsut merangkak dengan penuh tenaga Jeanne meraih ujung tempat tidur Nathan, lalu berdiri dengan lutut. Menatap pria itu sambil tertawa getir. Air mata yang tidak ingin keluar tadi sekarang dengan bebas membasahi bajunya. “Nathan.. wake up ba- baby” suaranya gemetaran seraya memegang tangan dingin pria itu. “Aku tau, Aku tau...kamu masih disini..” Jeanne menguncang pelan pria itu.

“Nathan, kamu sudah janji sayang...janji pertunangan kita, pernikahan kita..Marabelle dan Vino, itu janji mu Nathan. Jangan begini, Kamu jangan jadi pengecut..” Jeanne terus menguncang Nathan di segala arah terlalu frustasi untuk berpikaran jernih.

               Dia kembali bersuara. “aku tak pernah menyangka kamu sepengecut ini Nathan, kukira dulu kamu kuat. Kamu akan menepati janji mu padaku dan ternyata aku salah, aku salah..” Jeanne mengerang meremas selimut yang menutupi wajah tampan kekasihnya. “bangun Nathan, bangun...bangun untukku..”

                Orang-orang berlalu lalang mendekati Jeanne ntah siapa mereka semua, satu yang dia tau jika ayah dan ibunya datang, orang tua Nathan juga. Beberapa detik berlanjut tubuh kokoh ayah Jeanne mengangkat tubuhnya meninggalkan rumah sakit itu dengan derai air mata yang hampir membanjiri bajunya.

**

             Pagi ini tepat tiga minggu kepergian Nathan dan sudah tiga minggu pula Jeanne mengurung diri di dalam apartement-nya tanpa keluar sedikitpun. Hanya makan satu kali sehari terkadang itu pun tak habis dan tidak sedikitpun menerima cahaya matahari. Tubuhnya yang kurus kini bertambah kurus dengan tulung pipi yang hari ke hari tambah menonjol.

                Apartement ini seperti penjara bagi siapapun yang pernah datang. Tertutup, pengap, jendela tak pernah di buka, sampah tissue dan piring-piring bekas makanan tergeletak dimana-mana,  Terlalu frustasi bagi seseorang yang di tinggal mati. Jeanne meringkuk di balik selimut tebalnya, memutar siaran tivi yang bersemut. Matanya menatap kosong, dari lingkar matanya terlihat sekali gadis ini tidak pernah tidur pulas dalam jangka waktu berminggu-minggu. Matanya juga bengkak, kantong matanya terlihat jelas, tulang pipinya yang makin menonjol membuat gadis ini terlihat sebagai wanita paling frustasi di dunia.

                  Air mata itu keluar lagi membanjiri baju yang Jeanne kenakan, tangannya kembali bergetar, jantungnya seakan tidak mau bekerja pada tubuhnya. Jeanne merasa terhuyung-huyung, mendapati dirinya berasa terbang di udara. Dan sedetik kemudian wanita itu terkulai lemah di  atas tempat tidurnya.

**

                       Sore ini Niall mendapat telfon dari seseorang yang sama sekali ia tidak kenal, memang tiga minggu ini ia mencari tau di mana keberadaan Jeanne, Dia mencari kemana-mana tapi masih tidak ada kabar. Sampai seorang lelaki paruh baya menelfonnya dan memberitahu jika Jeanne sekarang berada di apartement dan tidak pernah lagi membuka pintu apartement itu.

Niall panik, panik---sepanik---paniknya. Setelah mendengar kabar itu dia menuju apartement Jeanne dengan mengemudi kan ranger rover-nya tak terkendali.

                       Sampai dia di pintu kamar wanita itu dia mencoba mengetuk, memanggil dan sedikit berteriak. Tapi percuma, tak ada sedikitpun tanda kehidupan dari dalam. Dia berpikir lagi lalu turun ke bawah meminta kunci cadangan pada petugas Apartement mewah ini. Lalu ia kembali berlari keatas dan membuka pintu kamar.

Niall terpaku, Dia mengedarkan pandangan ke sekekeling dengan wajah frustasi. Ruangan macam apa ini? Tidak ada udara sedikitpun, kotor dan menyisakan seorang gadis yang tergeletak di atas tempat tidurnya. Niall menghambur tanpa peduli piring-piring yang menghalangi langkahnya.

Dia mendekat, lalu terhenyak mendapati gadis malang itu dengan kondisi paling memprihatinkan. Lingkar mata nya yang hitam dengan tulang pipi lima kali lipat lebih menonjol dari pada pertemuan terakhir mereka. Niall berusaha membebaskan Jeanne dari selimut tebalnya lalu menggendong gadis itu dengan panik. Berat badan Jeanne turun berapa kilogram? Tanyanya sekilas dalam pikiran.

Kemudian dengan secepat kilat Niall berlari membawa gadis itu kerumah sakit.

**

Niall membawa gadis itu ke apartement-nya. Ralat, Apartement One Direction. Dia membaringkan Jeanne sementara di sofa lalu mengelus rambut gadis itu lembut. “Jeanne, dengar aku..?” Niall berbisik halus di telinga Jeanne itu yang tidak sadarkan diri juga, Kini kepala gadis itu tertumpu pada paha Niall yang menopangnya. Niall kembali mengelus pipi wanita itu halus.

Tiba-tiba empat pria lain datang dari dapur dengan candaan-candaan mereka lalu terhenyak ketika mendapati Niall pulang dengan seorang gadis pingsan di pangkuannya. “WHAT HAPPENED WITH HEEEER?!” Harry berteriak panik lalu mendekat.

“Dia sakit, belum sadarkan diri dari tadi..” ucap Niall sekenanya. Lalu Liam,Louis dan Zayn ikut-ikutan berkumpul mengelilingi Jeanne. “kenapa dia bisa begini, Niall?” tanya Liam dengan sorot mata penuh tanya.

Niall tersenyum tipis, senyum yang menyakitkan. “sama sepertiku, di tinggal mati kekasihnya..” Hening. Tidak ada yang bisa berbicara lagi, Semua mata malah tertuju pada Niall dan Jeanne. Harry mulai berdehem memecahkan tembok keheningan.

“sudah bawa kedokter?” Harry lagi, Niall mengangguk. “ya sudah bawa dia ke kamar” perintah Harry pada Niall.

Niall terpaku bingung menatap kearah Harry. “kamar? Kamar siapa?” tanyanya.

“kamar kita, nanti biar aku tidur bersama Louis saja” Liam menyambung, Niall dan Liam memang tidur bersama selama ini. Dengan segera Niall mengangguk dan menggendong tubuh lemah Jeanne dengan penuh kasih sayang.

Catching Feelings (Niall Horan Fan Fiction)Where stories live. Discover now