83

7.8K 752 45
                                    

Duke Smith melangkah menjauh, ia bersembunyi di balik reruntuhan bangunan. Thalia hanya menatapnya datar. "Pria pengecut." Umpatnya kesal.

Thalia berusaha mengejar Duke Smith. Saat ia ingin menyerang lawannya, sebuah tangan mencegah lengan Thalia dan membuat si empunya menoleh kebelakang.

"Ayah!" Thalia terkejut karena Ayahnya-Duke Aaron mencegahnya mengejar Duke Smith.

"Bantu suamimu, aku yang akan menangani dia." Tutur Duke Aaron dengan nada tegasnya.

"Tapi Duke Smith licik ayah. Dia juga pengguna sihir. Aku takut ayah terluka nantinya." Balas Thalia dengan nada tercekat, ia khawatir akan keselamatan ayahnya.

"Kamu tenang saja, sayang. Aku akan berhati-hati." Duke Aaron meyakinkan Thalia.

Thalia terdiam beberapa saat. Ia berpikir dan melihat kegigihan ayahnya yang tidak bisa di cegah lagi. "Baiklah, ayah." Jawabnya mengalag. "Tapi aku mohon agar ayah lebih berhati-hati." Duke Aaron mengangguk mendengar perkataan Thalia.

Wanita itu segera beralih mendekati kedua makhluk mitologi beradu sihir, netra heterochromia-nya menemukan pisau kecil. Ia mengambilnya, perlahan pisau tersebut bersinar senada dengan pedangnya karena ia mengalirkan mana sihirnya. Ia melempar pisau tersebut kearah Mictlain.

"Argh!" Mictlain si monster bertopeng tengkorak terkejut terkena pisau kecil berlapis sihir mengenai lengannya. Tatapan tajamnya menatap Thalia dengan sosok yang berbeda. Iris mata kiri milik gadis itu berkilat merah bak darah, menatap nyalang Mictlain yang terdiam penuh emosi.

Burung api mendarat tepat disamping Thalia, aura keganasan burung api mendominasi dan mampu membuat Thalia tertekan-ia peka terhadap aura karena kemampuan sihir dalam tubuhnya.

Thalia tersenyum manis menatap burung api nan cantik didepan matanya. Tatapan tajam menatap Thalia lekat seperti memberi isyarat kepadanya. Sebelah alis Thalia terangkat.

"Ada apa?" Tanya Thalia.

Kepala burung api menunduk mendekati Thalia, ia menggesek-gesekkan kepalanya seperti menuntut sesuatu. Thalia terkekeh, ia merasa gemas. Jemarinya mengelus puncak kepala burung api yang lembut serta hangat, ia juga tidak ragu untuk memeluknya.

"Seperti memeluk guling berbulu lembut. Nyaman sekali." Ungkapnya menduselkan kepalanya ke bulu-bulu lembut tersebut.

"Naiklah!" Sebuah suara membuat Thalia terjingkat kaget.

"Ternyata bisa berbicara juga." Thalia takjub menatap burung api tersebut.

"Tentu bisa, Tha. Aku bukan binatang tapi perwujudannya saja yang menyerupai mereka." Jawab Ace. "Naiklah!" Perintahnya lagi.

Thalia beranjak naik, ia duduk diatas kepala Ace-burung Phoenix. Kedua netranya berbinar ketika burung api tersebut sudah berdiri tegak, ia bisa melihat seluruh kerajaan Orthello. Seluruh istana sudah hancur, beruntung pemukiman warga hanya sebagian yang hancur terkena ledakan portal dimensi.

"Pasti membutuhkan waktu lama untuk membangun kembali." Celetuk Thalia.

"Aku akan membangunnya kembali. Jangan khawatir, Tha." Jawab Ace.

Dari kejauhan, Thalia menatap pertarungan sengit antara pemimpin dua kerajaan. Raja Helium tampak memimpin pertarungan, Ricard sudah menemui titik kelelahannya. "Akankah dia menang melawan Raja Helium?" Sahut Thalia lagi.

Bola mata Ace melirik kearah pertarungan yang menjadi topik Thalia bertanya. "Terlalu meremehkan akan menjadi senjata makan tuan." Balas Ace singkat.

Thalia mengangguk setuju. Kerajaan Orthello terlalu meremehkan kekuatan Kerajaan Renegades yang dasarnya sudah memiliki kemampuan istimewa yaitu sihir. Ia kembali fokus menghadapi monster besar didepan matanya.

I WANT YOU (TRANSMIGRASI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang