Cemburu

19 7 1
                                    

Setelah jam sekolah selesai, semua siswa keluar dari kelasnya, begitu pula denganku. Aku berjalan menuju tangga dengan ditemani Delia dan Syafira. Di tengah jalan, aku melihat Afkar sedang berjalan dengan tangan yang digenggam oleh sosok gadis. Mereka tampak ceria dan tertawa bersama.

Mataku melotot melihat pemandangan ini. Ingin rasanya kulepas tangan Afkar dari genggaman perempuan itu dan parahnya, dia berjalan tepat di belakang Bu Tuti, guru agama kami.Apalah dayaku yang hanya bisa mencintai dalam diam. Mungkin perempuan itu pacarnya. Wajarlah kalau dia banyak yang suka. Aku juga tidak boleh egois. Dia bukanlah siapa-siapaku.

Jadilah cintaku bertepuk sebelah tangan.
Aku memang memilih mencintai daripada dicintai. Walaupun aku yang tersakiti, tetapi setidaknya aku tidak menyakiti orang lain.

"Azara !" Panggilan itu membuyarkan lamunanku. Aku menoleh ke Syafira dan Delia.

"Heem?" sahutku.

"Kamu kenapa melamun terus?" heran Delia.

Aku tertawa ringan. "Iya, lagi banyak pikiran" jawabku jujur.

"Mikirin apa sih?" tanya Syafira.

"Mikirin jawaban tadi." Aku berbohong agar tidak ketahuan.

"Ya ampun, Za. Soal satu saja, kamu pikirin sampai pulang? Nanti malam, kan, bisa dikerjakan." Mereka malah menertawakanku. Aku hanya tersenyum.

"Satu soal saja, jawabnya susah, Ra," jawabku.

"Memang ya, kalau orang pintar, satu soal saja dipikirin," cetus Syafira.

Aku menanggapinya dengan tertawa ringan. Tak terasa, langkah kaki kami sudah di depan gerbang sekolah.

"Kamu udah dijemput?" tanyaku ke mereka.

"Belum," jawab Delia.

Kami bertiga memilih duduk sebentar menunggu jemputan datang.Tak lama kemudian, mobil ku datang. Aku pun berpamitan dan segera masuk ke mobil.

"Aku pulang dulu, ya!" pamitku.

"Iya, hati-hati!" jawab mereka kompak.

"Dah!" Aku melambaikan tanganku. Mereka pun membalasnya.

Mobil pun berjalan menyusuri jalanan panjang nan luas. Sesekali aku amati pemandanganya. Banyak bangunan besar dan gedung-gedung yang menjulang tinggi, tak jauh berbeda dengan Jakarta. Di sini juga terdapat pabrik-pabrik besar, seperti pabrik cokelat, skincare, dan banyak lagi.

Asap knalpot mencampuri udara dan debu yang bertebangan, membuat panas semakin menggebu. Hal ini karena polutan dan karbon dioksida yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor menjadi salah satu penyumbang terbesar terhadap peningkatan gas rumah kaca (GRK) di atmosfer.

Setibanya di rumah, aku mencari Bi Marni.
"Bii!!"

Aku berjalan menyusuri rumah. Namun, tak ada jawaban sama sekali. Aku pun memutuskan untuk langsung ke kamar.

"Hah ... capek!!"

Kulepas tas dan seragamku, lalu menjatuhkan badanku di atas kasur. Menatap langit langit kamar yang berwarna biru dan putih menggambarkan pemandangan awan pada siang hari. Tubuhku sangat lemas dan capek, bahkan mata ini berat untuk dibuka. Tak terasa, aku mulai mengantuk dan tertidur.

***

"Non ... bangun, Non! Non udah salat apa belum? Ini udah jam lima lebih loh, Non!"
Suara Bi Marni mengganggu tidur soreku. Aku mulai membuka mata dan melihat ke jam dinding. Seketika, aku langsung bangun dari tidurku. Jam menunjukkan pukul 17:10 WIB. Aku segera berjalan ke kamar mandi dengan nyawa yang belum terkumpul.

Aku Tak Membencinya  [ SEGERA DI TERBITKAN ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang