Bertemu Ibunda Afkar

12 6 0
                                    

Sepulang sekolah, aku menunggu jemputan di halte bus. Sebenarnya, Afkar mengajakku untuk ke rumahnya sepulang sekolah. Namun, aku tolak. Aku belum siap jika harus bertemu keluarganya. Harus ngomong apa nanti? Aku menolaknya. Aku juga heran sama Pak Dani. Sudahku tunggu jemputan, tetapi masih belum datang juga. Ini sudah jam 4 lagi, aku takut sendirian di sini.

"Hai! Ayo naik!" Tiba-tiba, ada suara motor dari sampingku. Ternyata itu Afkar, ia masih berada di atas motor.

"Enggak mau! Aku bareng Pak Dani aja!"

"Sudah! Ayo naik!" Afkar masih memaksaku.

"Kalau ngomong sama orang, turun! Jangan di atas motor! Nggak kedengeran!" timpalku.

Afkar pun mematikan motornya dan turun menghampiriku."Aku tadi udah izin sama Om Andre, mau ajak kamu pergi ke rumahku." Afkar menggeret tanganku.

"Benaran?"

"Aku teleponin lagi nih?!" Afkar merogoh kantong celananya.

"Enggak usah!" sergahku. Afkar pun tersenyum tipis, lalu membawaku ke atas motor.

Aku pun pulang bersamanya. Aku sengaja bonceng di tepi motor, memberi jarak antara aku dan dia. Seperti yang dikatakan Daddy, aku tidak boleh deket-deket sama dia. Harus memberi jarak di antara keduanya. Walaupun rasanya ingin terbang berada di pojok, tetapi aku tahan.

Afkar mengemudi motornya dengan sangat kencang. Aku sampai kempas-kempis dibuatnya. Bukan jaket Afkar yang kubuat pegangan, melainkan pinggir joknya. Aku sangat tertekan dengan ini. Aku pun memperingatinya agar lebih pelan lagi.

"Afkar! Jangan kenceng-kenceng ngegasnya.
Aku takut ... pelan-pelan aja!"

"Ha ... apa? Aku nggak kedengeran!"

"Berhenti!" Aku menarik jaket Afkar untuk menghentikan motor. Ia pun berhenti di pinggir jalan, lalu menoleh ke belakang.

"Ada apa?"

"Kamu jangan kencang-kencang mengemudinya? Aku takut!"

"Ya kamu pegangan, biar nggak jatuh!" Afkar malah terkekeh melihat ekspresiku.

"Enggak boleh pegangan! Nanti dimarahin Daddy! Kamu pelan-pelan aja ngegasnya!" Aku menepuk ringan pundaknya.

"Iya iya!" Afkar pun melanjutkan perjalanannya. Di pertengahan jalan, aku baru sadar jika kita salah jalan. Ini bukanlah jalan menuju rumahku.

"Afkar! Kok belok ke sini? Rumahku kan masih lurus!" Aku berbicara tepat di samping telinganya.

"Kita ke rumahku dulu!"

"Ngapain?! Aku nggak mau!"

"Sudah, ikut aja! Bundaku nggak nakutin, kok. Kata Bunda, dia mau ketemu sama calon mantunya."

"Aku belum siap! Nanti aku harus ngomong apa? Nggak ada pembahasan juga"

"DIEM! Kalau kamu rewel, tambah aku kencingin motornya!" Aku pun terdiam seketika. Aku berkacak pinggang dan mendesah kesal. Ditambah pikiran yang berkecamuk di pikiranku.

Ya Allah, tolonglah hambamu ini, semoga ibunya Afkar nggak tanya aneh-aneh, pintaku dalam hati.

Tak lama kemudian, kami sampai di rumah Afkar. Rumah minimalis dan estetik ini berwarna putih dan sedikit campuran cream di bagian depannya. Aku pun turun dari motor dan menunggu dia memarkirkan motornya. Aku mengamati sekilas luar rumahnya banyak tanaman bunga dan buah anggur. Terdapat kolam ikan juga di tengahnya, menambah kesan klasik dan menarik.

"Ayo masuk!" Tanpa aba-aba, Afkar sudah menarikku untuk masuk ke rumah.

Aku pun mengikutinya dari belakang. Aku benar-benar grogi. Tanganku gemetar, badanku terasa panas dingin setelah masuk ke rumahnya.

Aku Tak Membencinya  [ SEGERA DI TERBITKAN ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang