Trauma masa lalu

15 6 6
                                    

Jam sekolah selesai. Hari ini, aku memutuskan untuk Salat Asar di sekolah agar tidak terulang kejadian kemarin. Selesai Salat Asar di musala, aku menyusul Delia di halte bus.

"Hai, Delia, belum di jemput?" sapaku ke Delia yang masih duduk di halte bus. Aku duduk di sampingnya.

"Belum," jawabnya.

Aku memberanikan diri untuk bertanya tentang cewek itu. "Delia, aku boleh tanya nggak?" Aku memulai pembicaraan.

"Boleh," jawabnya.

"Cewek yang tadi di kelas itu siapa? Kok lengket banget sama Afkar?" tanyaku polos.
Dia malah tertawa lepas membuatku bingung.

"Kamu suka sama Afkar?" tanya dia balik.

Aku menggelengkan kepala dan berkata, "Enggak, aku nggak suka sama Afkar. Aku cuma heran, kenapa ada perempuan yang selengket itu sama laki-laki?" Aku mencoba mengelak.

"Dia memang begitu orangnya. Namanya Novia dari kelas X C. Dia memang perempuan murahan, sering menggoda laki-laki. Padahal dia sudah punya pacar sendiri," jawab Delia.

Aku bertanya lagi. "Kamu kok kenal sama dia?"

"Dulu kita satu sekolah dari SD sampai SMP Dulu kita juga dekat.Tapi, mulai SMA, dia sudah berubah dan pura-pura tidak mengenalku lagi" ujar Delia.

"Oh … Afkar itu, pacarnya ya?" lanjutku.

Dia Menggeleng. "Enggak, dia memang cowok yang care sama semua orang, jadi perempuan yang berada dekat Afkar seperti pacarnya, padahal enggak. Namanya juga cowok ganteng, banyaklah yang suka,” jawab Deli. “Kalau kamu dekatin, mungkin dia akan memilihmu," ucapnya.

Seketika, mataku membulat sempurna dan menatap dalam wajah Delia."Enggak! Nggak mungkinlah, masak gue pacaran sama Afkar? Mustahil!" jawabku tegas. Setelah mengucapkan itu, aku mengalihkan pandangan ku ke depan.

"Afkar, tuh, baik orangnya, walaupun terkenal bandel, tapi dia suka menolong, loh! Dia juga penurut sama orang tua.” Delia membuatku semakin salah tingkah.

"Kamu kok tahu, tentang dia?"

"Dia masih sepupuku, soalnya."

"Nama panjangnya, siapa sih?" Aku semakin penasaran dengan pria itu.

"Afkar Pradipta Reksa," jawab Delia. Sungguh nama yang bagus. "Kalau kamu suka, aku bantuin pedekate sama dia, deh!" tawar Delia.

"Sebenarnya pengen, tapi, gue gengsi. Masa yang deketin perempuan? Harga dirilah!" Aku sudah tidak bisa mengelak lagi. Aku pun mengungkapkan isi hatiku.

"Tuh, kan, kamu tertarik!" Dia meledekku.

wajahku memerah karena salah tingkah. Aku nggak bisa berkata-kata lagi, senyumku pun mengembang sempurna.

"Enggak papa, cinta itu harus dikejar sampai dapat, sebelum telat. Nanti didahului Kartika, loh ..." Dia mencoba menasihatiku.

Aku tertawa geli menanggapinya. "Tapi kita perempuan, sejelek-jeleknya perempuan, harus jual mahal. Harga diri wanita, di atas laki-laki!" ujarku menasihati balik.

"Iya, sih, memang … tapi kalau kita mengalah terus, kita akan punya trauma akan percintaan. Sesekali, cinta itu harus dikejar, Za," jawabnya.

"Mungkin pendapatku beda sama kamu, Del."

"Benar ... semua orang mempunyai pendapat berbeda-beda," jawab Delia.

Tak lama, jemputan kami sampai di depan mata.

"Aku pulang dulu, ya!" pamitku mengawali.

"Iya, aku juga, hati hati di jalan!"

"Assalamu 'alaikum!" salamku padanya.

Aku Tak Membencinya  [ SEGERA DI TERBITKAN ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang