Terungkapnya Rahasia

7 3 1
                                    

[Afkar POV]

Dari tadi, aku memandang tas berwarna hitam berlogo jims honey ini. Aku penasaran dengan kehidupan cewek itu. Pasti ada yang di rahasiakan dari semua orang. Kata Delia, penyebab dia sakit karena dia depresi terlalu banyak stres dan kurang makan.

" Masa aku kepoin hidupnya? Ah, enggak mungkin! Dia terlihat baik-baik saja tadi. Dia juga selalu happy orangnya, masak punya tekanan hidup?" ucapku.

Aku duduk di kursi belajar,dan berbicara dengan tas hitam ini. "Apa di dalamnya ada ponselnya? Siapa tahu aku bisa mengembalikan tas ini ke rumahnya. Cobalah!" Aku mulai menggeledah isi tas cewek itu.

"Akhirnya, ketemu!"

Aku menemukan ponsel Azara di dalam tasnya. Aku mencoba membukanya, tapi sial! Ponselnya dikunci. Aku sudah mencoba mengotak-ngatik kunci sandinya, tapi tidak bisa dibuka.

"Gue tanya Delia aja, deh!" Aku sempat berpikiran seperti itu. "Enggak, enggak! Kalau gue tanya kata sandinya, nanti dikira mau nyolong lagi. Cara yang lain aja. Mungkin di sini ada alamat rumahnya."

Aku mengeluarkan semua isi tasnya termasuk baju seragam yang tadi pagi dia pakai. Pandanganku langsung bertuju pada buku diary berwarna biru. Ingin hati membuka buku diarinya.

"Gue buka nggak, ya? Siapa tahu dapat alamat rumahnya," ujarku.

Aku membuka halaman pertamanya. Aku juga membaca isi buku biru ini.

Kenapa di dunia ini, nggak adil. Kenapa, ya Allah?

Di sisi lain, aku punya semuanya. Aku punya mobil, asisten pribadi, babysitter, pembantu, rumah mewah, dan fasilitas mewah. Namun, cuma satu yang tidak aku punya dan selamanya tidak akan pernah punya, yaitu keluarga utuh. Cuma itu.

Mereka yang di luar sana memiliki keluarga yang utuh dan harmonis walaupun mereka hidup di desa dan tidak mempunyai fasilitas yang bagus. Andai saja, aku bisa bertukar posisi, aku akan memilih menjadi gadis desa yang miskin, tapi mempunyai keluarga yang utuh dan bisa merasakan kasih sayang seorang Ibu.

Aku membuka halaman baru.

Dari kecil, aku tidak pernah merasakan pelukan Ibu. Aku juga tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Padahal aku masih punya ibu. Ibuku lebih memilih pergi bersama laki-laki selingkuhannya dan meninggalkan kami. Waktu itu, aku berumur 1 tahun, di mana anak yang masih membutuhkan asi ibunya, masih membutuhkan pelukan ibunya, dan membutuhkan kasih sayangnya.

Aku selalu iri dengan teman-temanku yang setiap hari dikepang ibunya, disuapin sarapan setiap hari, diantar ke sekolah, dijemput sekolah, dibacakan dongeng sebelum tidur, dan dipeluk ketika menangis.

Belum pernah aku merasakan pelukan ibuku sampai umurku 17 tahun ini. Waktu aku sakit, babysitter-ku yang merawatku. Dia bilang, kalau aku sudah dianggap seperti anak sendiri. Dia juga sayang sama aku. Namun, sebesar apa pun kasih sayang babysitter, tak seberapa dengan kasih sayang seorang ibu. Rasanya berbeda.

Di saat aku punya masalah hidup, siapa yang mau mendengarkan ceritaku?

Siapa yang memberi motivasi-motivasi hidup untukku?

Nggak ada.

Daddy sibuk dengan pekerjaannya. Kak Rangga sibuk dengan dunianya sendiri. Aku pun memutuskan untuk sibuk dengan pelajaran sekolah agar aku bisa mengabaikan masalahku.

Semua kupendam. Tak ada yang tahu apa yang kurasakan, apa yang aku alami. Bahkan keluargaku sendiri, tidak memahamiku. Maka dari itu, aku sering menyendiri di kamar dan mengurung diri. Aku berusaha baik-baik saja di depan umum.

Padahal ada beribu-ribu air mata yang sudah tumpah dari mataku. Ada tisu yang menjadi saksi tangisanku. Aku tidak pernah memperlihatkan tangisanku di depan orang-orang sampai orang-orang heran kenapa aku tidak pernah menangis.

Mereka menyebutku wanita tangguh. Tapi sebenarnya, aku adalah manusia yang lemah. Sering putus asa, bahkan air mataku mudah mengalir. Cuma aku yang tidak pernah memperlihatkannya ke orang-orang.

Aku mempunyai prinsip. Jangan sampai aku memperlihatkan kelemahanku kepada manusia, cukup Allah-lah yang tahu kelemahan ku. Dia Zat yang Maha Mengetahui perasaan hamba-Nya. Sia-sia kita menangis di hadapan orang kalau dia tidak bisa mengerti perasaan kita.

Air mataku mulai meluncur sempurna.

Kenapa dia tiba-tiba menanyakan kabarku? Di mana dia 17 tahun yang lalu? Di mana dia saat aku membutuhkanya? Di mana dia di saat aku putus asa menjalankan kehidupan?
Dialah penyebab hidupku sengsara. Sampai kapan pun, aku tidak mau menganggapnya sebagai orang tuaku! Bagiku, dia sudah mati.
Aku tidak akan memaafkannya!.

Aku membaca isi hatinya yang ia tulis di dalam buku ini. Dari Azara yang kurang kasih sayang orang tuanya sampai aku mengetahui, jika Azara diam-diam mencintaiku.Sekarang aku sudah tahu rahasia Azara. Memang berat jika berada di posisinya. Aku baru tahu ada wanita yang sekuat dia. Dia adalah wanita yang mempunyai tujuan hidup yang jelas dan mempunyai prinsip yang kuat.

Kisahnya membuatku kasihan sampai meneteskan air mataku berkali-kali. Kali pertama, aku menangis gara-gara perempuan. Sungguh, aku salut kepadanya. Aku merasa beruntung dicintai oleh wanita yang kuat dan tegar. Aku memutuskan untuk mengembalikan tasnya esok hari. Dan ingin berbicara dengan dia.

***

Aku sudah berada di depan rumahnya, untunglah Delia tahu alamatnya. Rumahnya sangatlah besar, memang Azara dari keluarga yang mampu.

Kok, gue malah grogi, ya? batinku dalam hati. Aku mengambil napas dalam-dalam lalu aku membuangnya perlahan. Kuawali langkah kakiku menuju gerbang rumah Azara .

"Assalamu'alaikum!" salamku. Aku mengamati keadaan rumah terlihat sunyi dan sepi.

"Waalaikumussalam," jawab seseorang dari dalam. Terlihat seorang wanita paruh baya menghampiriku dan membukakan gerbang. Aku memasang muka senyum.

"Masnya, mau ketemu siapa? Ada perlu apa?" tanya wanita tua ini.

"Saya mau bertemu Azara Bi, Azara ada?" jawabku santun.

"Neng Azara di rumah sakit. Belum pulang dari kemarin, ada urusan apa ya, Mas?" ujar wanita paruh baya ini.

"Oh, masih di rumah sakit, ya? Kira-kira, pulangnya kapan?" tanyaku balik.

"Waduuh, kalau itu saya kurang tahu, Mas. Non Azara sakit parah di rumah sakit," jawab wanita paruh baya ini.

"Kalau begitu, saya mau mengembalikan tas Azara, kemarin ketinggalan di sekolah." Aku menyodorkan tas tersebut.

"Iya, makasih sudah nganterin tasnya Non Azara," ucap wanita paruh baya ini.

"Ya, Bi, saya pamit dulu. Assalamu'alaikum!" salamku.

"Wa,'alaikumussalam" jawabnya.

Aku membalikan badan lalu menaiki motor dan pergi dari tempat ini. Ragaku mengendarai motor, tapi pikiranku ke mana-mana.

Apa aku ke sana, ya? pikirku. Jangan dulu, lah, ngomongnya besok kalau dia sudah sembuh! Gue kasihan sama dia.

Aku Tak Membencinya  [ SEGERA DI TERBITKAN ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang