Keputusan

15 7 0
                                    

Aku sedang memandang langit dari dalam kamarku. Langit malam sangatlah indah untuk di pandang. Banyak kelap kelip yang menambah kesan klasiknya. Cahaya rembulan sangatlah terang malam ini, sempurna sekali cahayanya. Aku menatapnya lewat jendela kamarku yang kebetulan meja belajarku di bawahnya. Jadi, aku bisa belajar sambil menikmati pemandangannya.

Dret! Dret!

Suara ponselku berdering. Aku pun mengambilnya di atas kasur. Setelah aku membukanya, ternyata Afkar yang meneleponku. Dengan terpaksa aku mengangkatnya. Dia memang dari tadi mengirim pesan. Namun, aku abaikan. Sampai sekarang, ia masih mencoba menghubungiku.

"Hallo?" ucapku.

"Azara, akhirnya kamu angkat juga!"

"Ada apa nelepon malam malam?"aku berusaha cuek kepadanya.

"Azara, aku mohon, tolong jangan akhiri hubungan ini. Aku masih mau hubungan sama kamu!"

"Afkar, tolong terima keputusanku. Bukannya aku benci sama kamu. Bukan karena aku sudah bosan sama hubungan ini. Tapi, aku takut. Bagaimana ke depannya? Apalagi yang akan terjadi nantinya? Mungkin itu adalah sebuah teguran dari Allah supaya kita tidak melanjutkan hubungan ini. Kalau pun kita sudah tidak pacaran, kita masih bisa temenan, Afkar! Kita juga masih bisa ketemu. Jangan seperti ini. Aku paling nggak suka kalau dipaksa!" Aku berkata dengan berjalan ke meja belajar. Kutempelkan pantatku ke kursi dengan menatap ke atas.

"Tapi, kamu nggak akan berubah, kan?"

"Kalau kamu nggak berubah, aku juga nggak berubah."

"Bagaimana kalau kamu malah berganti hati? Kamu masih suka sama aku ke depannya, kan?"

"Kalau soal itu, aku tidak bisa menjawabnya, Afkar. Kita tidak tahu ke depannya bagaimana. Rasa juga bisa berpindah-pindah, tidak terus bisa dengan yang sama."

"Tapi aku belum siap Za aku tidak mau kehilangan kamu!"

"STOP, Afkar! Jangan berlebihan seperti ini! Kita hanya putus! Bukan berpisah! Kita juga masih bisa ketemu di sekolah. Kamu seakan-akan aku ini pergi dari bumi ini! Aku masih di sini, Afkar, jangan seperti itulah! Aku nggak suka kamu selebay ini!"

"Tetap aja rasanya beda, Za, pacaran sama temenan itu berbeda!"

"Terserah kamulah! Aku capek jelasinnya! Aku mau tidur! Assalamu'alaikum!"

Aku pun menutup teleponnya sebelum ia menjawab. Aku melempar ponselku ke tepi ranjang, lalu menghentakkan kaki dengan keras.

"Capek aku ngomong sama kamu, Afkar. Jangan sampai aku menjauhimu karena sikapmu yang seperti ini!" Aku pun menjatuhkan tubuhku di ranjang tempat tidur dengan menelangangkan kedua tangan dan kakiku.

***

[Afkar POV]

"Aza-" Belum aku menjawabnya, ia sudah menutup teleponnya. Dengan kesal, aku memukul keras tembok di sampingku.

"AAkkh!! Kok malah jadi gini, sih?!"
Aku sungguh kesal dengan pernyataan Azara.

Bagaimana bisa ia memutuskan hubungan ini tanpa persetujuanku? Apa tidak adil? Dengan aku masih dekat sama dia, aku bisa mendekatkan diri dengan ibunya. Sementara itu, saat ini hubungan kami malah berhenti di tengah jalan.

"Aku harus tahu siapa orang yang sudah membuat berita ini? Mereka pasti orang yang nggak suka sama hubungan kita!" Aku mengepal kuat kedua tanganku. Sesaat, pikiranku terlintas jika Panji adalah penyebabnya.

"Apa dia yang membuat berita ini?! Terus, siapa wanita yang bersamanya?" Aku mengelus daguku dengan tangan kiri.

"Apa jangan-jangan Novia yang bekerja sama-sama dia?" pikirku lagi. "Aku harus menyelidikinya!" Aku pun membuka ponselku kembali, lalu menghubungi Adi dan juga Riski di grup wa.

Aku Tak Membencinya  [ SEGERA DI TERBITKAN ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang