Bahagia

12 5 0
                                    

Mamah pun membuka tangannya, untukku peluk. Terlihat jelas, jika ia sudah menangis. Aku memeluknya dengan erat, sampai tak ada ruang di antara kita. Kutenggelamkan wajahku di pelukan ibuku. Ku luapkan tangisanku di dadanya.ku rasakan, pelukan hangat ini dengan lembut. Seumur hidupku, baru aku merasakan pelukan ibuku. Embusan napasnya terasa hangat. Kelembutan tangannya menyapu rambutku. Kecupannya menempel lekat di keningku. Aku sungguh merasa sangat nyaman di pelukannya.

Inilah yang aku impikan. Bisa merasakan kasih sayang seorang ibu. Akhirnya, Allah mewujudkannya. Pada hari ini, detik ini, aku bertemu dengannya dan bisa merasakan pelukannya.

Setelah puas berpelukan, aku pun melepas pelukanku dengan perlahan. Kuhapus sisa air mata kebahagian ini. Aku tersenyum hangat menatapnya. Begitu pula dengannya, ia tersenyum manis sembari mengusap pipiku. Aku masih sesak karena tangisan ini yang masih belum bisa dikontrol. Pada akhirnya, ia mengajakku duduk di sampingnya. Mamah juga memberikan segelas air putih untuk menenangkanku. Aku pun meminumnya sampai habis.

"Maafkan Azara, Mamah. Azara sudah membenci Mamah selama ini. Azara juga sudah kurang ajar sama Mamah. Azara minta maaf," ucapku dengan terbata bata.

Mamah meraih kedua tanganku dan berkata, "Tidak, Nak, kamu tidak salah dalam hal ini. Mamah yang seharusnya minta maaf sama kamu. Mamah sudah tega meninggalkan kamu dari kecil, Mamah gagal jadi ibu, maafin Mamah," tuturnya.

"Aku sudah maafin Mamah, kok. Sekarang, kita mulai dari awal ya?" ujarku lembut.
Mamah pun mendongak melihat wajahku dan tersenyum sembari mengangguk. Aku pun bersandar di punggungnya, dan memegang tangannya.

"Ekhem!" Suara itu membuat kami menoleh ke belakang. Ia adalah Kak Rangga. Ternyata ia menyaksikan kami dari tadi.

"Aku juga mau dipeluklah!" pinta Kak Rangga.
Kak Rangga ikut bergabung bersama kami.

Mamah pun mengulurkan tangan kirinya untuk merangkul pundaknya. Kami pun berpelukan bersama, merasakan kebersamaan yang kita inginkan dari dulu.
Setelah puas berpelukan, kami pun melepas pelukannya. Aku tersenyum lebar menatap wajah Mamah. Memang benar, wajah Mamah sangat mirip Denganku. Inilah wajah yang kurindukan selama ini. Aku terus menatapnya. Melepas rindu yang selama ini aku pendam. Aku sangat bersyukur, sudah dipertemukan dengannya hari ini.

"Bi Marni," panggil Mamah ke Bi Marni yang sedang menghampiri kami di ruang tamu. Aku pun menoleh ke arahnya.

"Nyonya!" sahut Bi Marni. Bi Marni juga terlihat sangat bahagia melihatnya. Matanya berbinar-binar, senyumnya mengembang sempurna. Ia berlari kecil menghampiri Mamah.

Mamah pun bersalaman dengannya, lalu memeluknya sebentar. Aku jadi ikut terharu melihatnya. Mungkin saja hubungan mereka juga erat sampai Mamah meneteskan air matanya kembali. Mamah pun mengajak Bi Marni untuk bergabung bersama kita. Bi Marni duduk di sebelah kanan Mamah dan aku di belakangnya.

"Bibi sehat?" tanya Mamah sembari memegang kedua pundak Bi Marni.

"Alhamdulillah sehat, Nyonya," jawab Bi Marni dengan sumringah.

"Bi Marni udah makan?"

"Belum, Nyonya, baru masak tadi "

"Bi Marni udah masak? Padahal aku juga bawa masakan dari rumah. Bi Marni masak apa?"

"Tadi Bibi masak sop daging sama ikan nila."

"Oh begitu? Ya sudah kalau udah masak.",

"Nyonya mau makan di sini? Saya siapkan dulu." Bi Marni langsung bangkit dari tempatnya. Namun, Mamah langsung mencegah dan menyuruhnya untuk kembali duduk.

"Enggak usah, Bi. Aku di sini cuma sebentar kok, nggak usah repot repot, duduk di sini saja bareng kita," cegah Mamah.

Dari suaranya, terlihat Mamah adalah orang yang baik nan lemah lembut. Tak terlihat sedikitpun kejelekannya. Sepertinya tidak mungkin, jika Mamah tega meninggalkan kami tanpa ada alasannya.

Aku Tak Membencinya  [ SEGERA DI TERBITKAN ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang