Restu

10 5 0
                                    

Hari ini adalah hari Minggu. Hari yang di mana, orang-orang libur sekolah atau pun bekerja, hari untuk beristirahat dan liburan. Begitupun denganku. Hari ini, aku mengajak Afkar untuk ke rumah, seperti yang diucapkan Daddy tadi malam. Kalau Daddy mau ketemu sama Afkar.

Aku juga tidak mau menyembunyikan hubunganku dengan Daddy. Takutnya, Daddy akan kecewa atau marah pada aku. Lebih baik, aku meminta restu kepadanya, dari pada terkena masalah nantinya.

Entah apa yang dikatakan Daddy nantinya jika sudah bertemu Afkar. Apa Daddy akan marah atau malah merestukan? Entahlah. Yang penting, aku sudah mau jujur pada Daddy.
Sekarang, aku sedang menunggu Afkar di teras rumah. Aku juga sudah menyiapkan sajian untuknya. Kuperlakukan layaknya seperti tamu mulia.

Pada akhirnya, Afkar datang juga dengan motor besarnya. Ia terlihat sangat gagah sekali hari ini. Ia mengenakan celana jeans dengan jaket kulit dan topi hitam. Ia sudah memarkirkan motornya di depan garasi mobil, lalu menghampiriku. Aku pun tersenyum lebar menyambutnya, lalu mendekatinya.

"Assalamu'alaikum!" salam Afkar.

"Wa'alaikumussalam!"

"Daddy-mu di dalam?"

"Iya." Aku berkata, sedikit gugup.

"Oh ya, ini ada buah tangan untuk daddy-mu." Afkar menyodorkan bingkisan berwarna putih. Aku pun menerimanya dengan senang hati.

"Makasih, ya, sudah repot-repot ke sini, bawa bingkisan juga," ucapku sembari menatapnya malu.

"Sama-sama," jawabannya dengan tersenyum lebar, memperlihatkan gigi rapinya.

"Ayo masuk, udah ditunggu Daddy!"

"Kok aku grogi ya? Nanti kalau aku diinterogasi gimana? Aku harus jawab apa?" tanya Afkar pelan.

"Sudah, nggak usah takut, Daddy nggak seperti yang kamu pikirkan."

"Okelah, ayo!"

Aku pun mengantarkan Afkar sampai ke ruang tamu. Di sana sudah ada Daddy yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu sembari membaca majalah dengan kopi hangat di depannya. Kami pun memberanikan diri untuk mendekatinya. Dari kejauhan, Daddy terlihat menakutkan, sudah seperti seorang polisi yang akan mengintrogasi pelaku.

"Daddy, ini Afkar ...," ucapku lirih.

Daddy pun menurunkan majalahnya, lalu mengalihkan pandangannya ke arah kami. Bukan ke arah kami, Daddy lebih memperhatikan Afkar. Ia melihat Afkar dengan tatapan serius dari bawah kaki sampai puncak kepalanya. Daddy sampai tak berkedip sekali pun.

"Assalamu'alaikum, Om. Perkenalkan, saya Afkar, teman Azara di sekolah." Afkar memberanikan diri untuk mengucapkannya. Ia pun melangkah ke depan, mendekati Daddy, lalu menyalaminya.

Aku pun duduk di sebelah Daddy dengan sedikit ketakutan. Tak biasanya. Daddy bersikap seperti ini kepada tamu. Apa karena tamunya Afkar? Atau memang Daddy seperti ini orangnya?

"Wa'alaikumussalam, silakan duduk" jawab Daddy. Afkar pun duduk di seberang sana dengan menghadap Daddy.

"Oh kamu yang namanya Afkar?" tanya Daddy. Raut wajahnya benar-benar datar, tak ada senyum tipis sekalipun

"Iya, Om, saya Afkar," jawab Afkar dengan menganggukan kepalanya. Ia duduk dengan tegak dan tangan yang ditempelkan di kedua lututnya.

"Ada hubungan apa kamu dengan anak saya?"
Aku tidak berpikir Daddy akan bertanya seperti itu. Setelah mendengar pernyataan itu, mataku membulat sempurna, lalu menoleh ke arah Daddy.

"Kemarin, saya sempat menembak anak, Om. Maaf, jika saya sudah lancang." Jawaban Afkar, sedikit meringankan bebanku.

"Ada niat apa kamu pacaran dengan anak saya?" Daddy mulai mengangkat kaki kirinya, lalu menaruhnya di atas kaki kanannya seraya melipat kedua tangannya di depan dada. Mata yang terus menatap tajam ke depan.

Aku Tak Membencinya  [ SEGERA DI TERBITKAN ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang