Pingsan

9 4 1
                                    

Setelah tim A dan tim E bertanding, akhirnya tim A yang menang. Tim D sudah turun dari di lapangan, bersiap bertanding dengan tim A. Aku merasa deg-degan.

Kenapa harus timnya Afkar yang menjadi lawan? Nggak ada yang lainkah?
Sebelum permainan dimulai, aku merasakan pusing yang amat berat. badanku lemas, dan pikiran ku yang sedang amburadul. Namun, kutahan rasa sakit ini. Jangan sampai kalah dan lelah.

Aku harus kuat! Aku nggak boleh terlihat lemah di hadapan orang! Aku adalah wanita kuat!

Baru mulai permainan, aku sudah tak sadarkan diri. Aku sudah tidak bisa menahan rasa sakit ini. Kemampuanku sampai di sini. Semua orang panik melihatku jatuh pingsan di tengah lapangan voli para murid berdatangan. Sekarang, aku jadi tontonan para siswa.

"Za, bangun, Za! Kamu kenapa, Za?!" tanya Delia. Dia sangat khawatir dengan kondisiku.
Aku pun memejamkan mata.

***

[Delia POV]

“Za... bangun!"

Aku berteriak keras karena khawatir dengan kondisi Azara. Dia tampak pucat dan badannya panas. Bahkan, dia sudah tidak sadarkan diri.

"Cepat bawa dia ke UKS!" perintah Pak Hamdan.

Afkar dan Zaky turun tangan membopong tubuh Azara. Semua murid kelas 12 IPS A ikut serta membawanya ke UKS. Aku langsung masuk dan menemani Azara di dalam, sedangkan yang lain, menunggu di luar ruangan.

"Kayaknya dia sakit, Del, badannya saja panas!" ujar Afkar.

"Ya, panasnya tinggi banget! Gue aja sampai nggak betah megangnya!" sambung Zaky.
Pak Hamdan segera membawa guru saksi kesehatan yaitu, Bu Tutik.

"Kenapa bisa kaya begini?" tanya Bu Tutik.

"Tadi, pas jam saya, dia pingsan di tengah lapangan voli. Sebelumnya, dia baik-baik saja." Pak Hamdan menjelaskan peristiwa di lapangan tadi biar tidak salah paham.

Bu Tutik segera mengatur suhu badan Azara.
Aku terus terusan menangis dan menggigit bibir bawahku. Aku berada di belakang Bu Tutik.

"Suhu panasnya mencapai 39,1 derajat," ujar Bu Tutik.

Kecemasanku semakin menjadi. Lebih parahnya lagi, dia mengeluarkan mimisan dari hidungnya. Sontak kami langsung panik.

"Bu, hidungnya mengeluarkan darah!" ucap Afkar.

Bu Tutik mengompres badan Azara dengan air dingin, sedangkan diriku membersihkan darah yang terus keluar dari dalam hidungnya.

"Kondisinya sangatlah buruk. Ini harus dibawa ke UGD. Badannya lemas sekali, sepertinya dia belum sarapan juga," usul Bu Tutik.

"Parah berarti, ya, Bu?" tanya Pak Hamdan.

"Saya saja, nggak bisa mengatasinya, Pak. Lebih baik dilarikan ke UGD saja. Kabarin keluarganya!" titah Bu Tutik.

"Baik, saya antar dia ke rumah sakit. Dan kalian semua balik ke kelas! Kamu Delia, ikut bapak!" kata Pak Hamdan. Aku pun menyetujui saran itu.

"Saya nggak ikut, Pak ?" Pertanyaan itu terlontar dari mulut Afkar.

"Emang kamu mau ngapain? Balik ke kelas!" tindas Pak Hamdan.

"Iya iya, Pak," balas si Afkar. Mereka berdua keluar dari ruangan dan kembali ke kelas.

"Ayo, Delia!" ajak Pak Hamdan.

Kami membawa Azara ke rumah sakit terdekat dan mencoba menghubungi keluarganya. Setibanya di rumah sakit, Azara langsung ditangani oleh dokter. Aku dan Pak Hamdan menunggu di luar.

Ya Allah ... semoga Azara baik-baik saja, pintaku dalam hati.

"Kamu sudah menghubungi keluarganya?" tanya Pak Hamdan.

"Sudah, tapi belum dibalas, di telepon nggak diangkat," jawabku gugup.

"Kita tunggu saja di sini," jawab Pak Hamdan.

Setengah jam kami sudah menunggu. Akhirnya, dokter keluar juga. Dokter itu cantik nan manis, tetapi sedikit terlihat garang nan judes. Kami langsung menghadap ke dokter dan bertanya bagaimana keadaan Azara.

"Gimana, Dok? Dia sudah mendingan?" tanya Pak Hamdan ke Dokter tersebut. Aku hanya diam di belakang Pak Hamdan.

"Pasien terkena penyakit tipes karena sering stres dan kurang tidur. Pasien juga tidak ada asupan apa pun jadi tambah parah penyakitnya," ucap Dokter tersebut.

Kami terdiam tak bisa menjawab. Rasanya seperti tidak mungkin.

"Apakah pasien, punya asam lambung?" tanya dokter itu lagi.

Pak Hamdan menoleh ke arahku. " Azara nggak pernah cerita, Pak," jawabku.

"Asam lambungnya kena, akibat pola makan yang tidak teratur," lanjut Dokter tersebut.

"Dia siswa baru, Dok, jadi, kami kurang paham tentang dirinya," jawab Pak Hamdan.

"Baiklah kalau seperti itu, saya tinggal dulu, Pak," pamit Bu Dokter.

"Iya, Bu Dokter, silakan …," ucap Pak Hamdan.

***

[Afkar POV]

Pelajaran pun selesai. Waktunya untuk pulang. Aku sudah berdiri dari tempatku dengan Zaky yang menunggu di depan kelas. Aku sempat menengok ke bangku kosong milik Azara. Masih ada barang barangnya juga di sana. Aku tak tega jika meninggalkan tas itu sendirian di kelas ini. Aku pun membawanya pulang. Siapa tahu, ada petunjuk rumahnya di dalam tasnya.

"Lo tahu alamat rumahnya, Af?" tanya Zaky.

"Enggak, nanti aku coba cari tahu alamatnya."

"Ya udah kalau gitu. Ayo pulang!" sahut Zaky. Kami pun keluar dari kelas menuju gerbang sekolah.

Aku Tak Membencinya  [ SEGERA DI TERBITKAN ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang