Kembali

1 0 0
                                    

Hari ini aku sudah mulai berangkat sekolah, setelah tiga hari di rumah. Aku yakin, jika aku ketinggalan banyak mata pelajaran. Sungguh rugi jika kita ketinggalan mata pelajaran. Namun tidak apa, aku sudah meminta tolong Delia untuk mengirim pelajaran kemarin. Aku juga sudah mengerjakan PR sosiologi.

Aku sudah berada di depan kelas, aku pun tersenyum lebar untuk menyapa teman-temanku di dalam kelas. Ketika langkah kakiku masuk ke kelas, semua orang langsung menatapku. Aku jadi malu sendiri setelah menjadi pusat perhatian.

"Hai, semua!" sapaku ke semua orang.

"Azara! Kamu udah sembuh?" tanya seorang dari mereka.

Aku pun tersenyum dan mengangguk pelan. "Alhamdulillah, udah," jawabku.

"Alhamdulillah," ucap mereka semua.

Aku jadi tambah bersemangat hari ini, melihat teman-temanku yang sangat perhatian dan sayang kepadaku. Aku pun melanjutkan langkahku menuju tempat dudukku.

"Kamu udah benar-benar sehat, kan?" tanya Delia. Ia berbalik ke tempatku.

"Sudah, Delia." Dengan lembut aku mengatakannya.

"Syukurlah kalau begitu," balas Delia sambil menghela napas.

"Selamat pagi, anak-anak." Tak lama kemudian, Pak Danar datang.

"Selamat pagi, Pak!" sorak kami semua.

***

Setelah bel istirahat berbunyi, kami keluar dari kelas dan berjalan menuju kantin sekolah. Di pertengahan jalan, kami malah mendapati para siswa laki-laki yang sedang berkumpul di teras kelas sampai tak ada jalan untuk lewat. Akhirnya, kami memutuskan untuk jalan lewat lapangan. Memang jaraknya jauh, tapi bagaimana lagi? .

Di saat aku dan Delia, beserta Syafira berjalan di lapangan, tiba-tiba ada Panji yang berjalan ke arah kami ia tersenyum lebar, kedua tangannya dilipat di belakang. Jantungku berdetak kencang. Sepertinya, ia sedang berjalan mendekatiku. Aku tidak tahu maksud dia apa Sekarang berada di hadapanku. Aku mengerutkan dahi dan menyipitkan mata.

Kenapa ia bersikap aneh akhir-akhir ini?
Tanpa kusadari, Panji mengulurkan sebuket bunga kepadaku. Senyumnya mengembang sempurna di hadapan dan matanya tak henti hentinya menatapku. Sementara itu, aku membatu di tempat. Mataku membulat sempurna, tak ada kedipan satu kali pun.

Aku benar benar mati kutu di sini. Jantungku berdetak sangat kencang, pikiranku ke sana ke mari tak tahu apa yang akan kuucapkan.

"Maukah kamu menjadi pacarku?" Seketika, perkataan itu terlontar dari mulut Panji. Itu benar-benar mengejutkan sekali.

"Terima! Terima! Terima!"

Suara sorakan itu mengerumuniku sekarang. Semua siswa sudah berkumpul di lapangan menyaksikan ini semua. Aku benar-benar gugup, tak bisa berkata-kata lagi. Aku malu, sangat malu.

Kenapa aku jadi tontonan seperti ini? Baru kali ini aku ditembak cowok di depan orang banyak.

"Ayo, Za, jangan mau!" bisik Delia di telinga kananku.

"Za, terima aja!" gantian Syafira yang membisikiku di telinga kiri.

Aku bingung untuk menjawab apa. Di sisi lain, aku masih ada rasa suka pada Afkar. Di satu sisi, aku sungkan dan malu jika menolak Panji. Pikiran ini tak henti-hentinya untuk berpikir keras.

Ya Tuhan, semoga engkau menolongku ..., pintaku dalam hati.

"Terima!! Terima!!" sorak mereka semua. Aku melihat ke sekeliling lapangan. Benar, hampir satu sekolah sudah mengerumuni kami. Sekarang, aku menjadi pusat perhatian mereka.

Aku Tak Membencinya  [ SEGERA DI TERBITKAN ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang