PROLOG

217 39 4
                                    

***

"Hidup kamu enak banget sih Gea," kata Arsiwi Anindiya, perempuan berusia tiga puluh dua tahun yang sedang memangku balita berusia tiga tahun. Putranya yang ketiga. "Padahal dulu kamu tu buluk, dekil, kurus kering. Bau matahari. Tapi sekarang kamu cantik banget, badan kamu juga bagus, kayak gitar Spanyol. Perawatan kamu pasti mahal yo, Ge? Wajah kamu glowing banget kayak artis Korea."

Ayu Puspita, temannya yang lain mengangguk mengiyakan. "Udah pasti itu Wi. Sekarang kan Gea udah jadi orang sukses. Uangnya banyak, usahanya di mana - mana. Nggak heran kalau tiap tahun liburan ke luar negeri, tiap bulan nginep di hotel bintang lima. Nggak kayak kita yang hiburannya cuma bisa main ke Tlatar atau nggak ke Janti. Mentok – mentok ke Solo Zoo."

"Dan yang pasti Gea nggak akan di hantui status perawan tua yang nggak laku, kayak aku," Gendis Wulandari ikut bersuara. Satu – satunya perempuan lajang di meja ini. "Kamu punya Kaffa Abhiseva, mantan pacar kamu sekaligus seorang aktor ternama yang secara terang – terangan mau nikahin kamu kapanpun kamu mau. Selain Kaffa, kamu juga punya Kevin Wiratama, pacar kamu yang sekarang. Jadi kamu tinggal pilih mau nikah sama yang mana."

"Sumpah, aku lho iri sama hidup kamu Ge. Enak poll."

"Apa sih yang mau di iri in dari hidup aku?" tanyaku setelah beberapa menit diam, mendengarkan rentetan kalimat yang keluar dari mulut teman – teman sekolah dasarku. Kepalaku mendongak, menatap satu persatu wajah mereka dengan sorot datar.

Tidak ada yang langsung menjawab, ketiganya saling melemparkan pandangan. Menatap satu sama lain, seolah tengah berbicara melalui sorot mata masing - masing.

"Semuanya. Hidup kamu yang kelewat sempurna." Pada akhirnya Ayu Puspita lah yang berbicara, yang kemudian langsung di angguki oleh kedua temannya. "Cantik, seksi dan kaya. Kamu memiliki semua impian kami para kaum wanita."

Aku tersenyum tipis.

"Hidup itu sawang sinawang Yuk. Apa yang kelihatan sempurna belum tentu sempurna. Apa yang terlihat enak di orang lain, belum tentu enak kalau kita sendiri yang jalani," kataku. "Bisa di bilang yang kalian lihat sekarang itu cuma 20% dari kehidupan yang aku miliki. Sedangkan 80% isinya cuma balik jungkir."

"Aku anak yang nggak jelas asal usulnya. Siapa bapakku, siapa ibukku nggak ada yang tau kecuali mbah yang udah lama meninggal. Saat kalian masih pada asik main di sawah atau cari ikan di kali, aku harus bantu bude Darmi jualan gorengan supaya dapat uang tambahan untuk bantu mbah yang udah sepuh. Apa yang mau di iriin dari abg hamil di luar nikah tanpa suami, seorang ibu yang nggak sanggup menghidupi anakku sendiri karena terjerat kemiskinan?"

"Kalaupun sekarang hidupku menjadi lebih baik dari sebelumnya, juga bukan tanpa alasan. Ada proses panjang. Ada pengorbanan, ada harga yang harus di bayar."

Lagi – lagi ketiganya diam di tempat masing - masing. Tak menanggapi.

"Jadi Gendis, kalau kamu beranggapan aku nggak akan pernah di hantui sama status perawan tua yang nggak laku, kamu salah. Karena dengan pencapaian yang kalian anggap sempurna, nggak akan bisa menghilangkan fakta tentang asal usulku. Tentang masa laluku yang udah di ketahui banyak orang. Coba kamu pikir, orang tua mana, keluarga baik – baik mana yang mengiklaskan anaknya menikahi wanita kayak aku? Nggak ada."

*** 

DANDELION | MOVE ON SERIES ( NEW VERSION )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang