DELAPAN

147 16 2
                                    

*** 

"Kalau lo mau ngomel - ngomel macam kucing kebelet kawin tolong di tahan dulu. Tadi gue udah nunggu di lobby trus gue baru enggeh kalo hp gue ketinggalan jadi gue musti naik dulu buat ambil. Kalau nggak percaya sok tanya pak Gusti," kata Gea begitu mendudukkan tubuhnya di bangku penumpang BMW 520i milik Evan, tem66an sekaligus partner kerjanya sejak dua tahun yang lalu.

Sementara pria berusia tiga puluh satu tahun dengan nama lengkap Gabriel Evan Tjandra itu hanya mendengus sebelum membawa mobilnya meninggalkan kawasan apartemen Gea yang berada di daerah Jakarta Selatan.

"Siapa juga yang mau ngomel - ngomel."

"Siipi jigi ying mii ngimil - ngimil," sahut Gea meniru ucapan Evan dengan ekspresi menyebalkan di wajahnya. "Muka lo keliatan mau nelen gue idup - idup, Van."

"Ke kostan temen gue bentar ya? Tadi gue udah bilang sama Jack kalau bakal telat dikit."

Gea mengangguk, mengiyakan. "Penumpang mah ngikut aja sama apa kata pak sopir," katanya sebelum menurunkan kaca jendela. "Gue nyebat ya?"

Di sebelahnya Evan mendengus pelan. "Biasanya juga nyebat tinggal nyebat, nggak pakai izin dulu."

Gea terkekeh sebelum menyalakan sebatang rokok yang ada di tangannya. "Basa - basi doang."

Lima belas menit kemudian mobil yang di kendarai Evan berhenti di sebuah bangunan besar bertingkat tiga dengan beberapa mobil yang terparkir. Sebuah kostan ekslusive yang berada di kawasan Pondok Indah.

"Lo tunggu di sini aja. Gue nggak bakal lama," kata Evan sebelum turun dari mobil dengan menenteng sebuah paper bag yang dia ambil dari di bangku belakang.

Gea hanya mengangguk sebagai jawaban. Pandangannya kemudian mengikuti punggung Evan yang perlahan menjauh, memasuki bangunan itu dengan langkah santai. Bahkan yang membuat Gea Anandita melonggo tidak percaya, pria kaku itu menyapa singkat seorang pria yang Gea perkirakan penjaga kostan tersebut. Seolah begitu familiar.

"Menarik," gumamnya setelah Evan memasuki salah satu kamar yang ada di lantai dua.

Menghilangkan rasa bosan, pada akhirnya Gea mengeluarkan ponselnya yang sejak tadi sengaja dia abaikan. Alih - alih membuka belasan notifikasi yang memenuhi layar ponselnya, Gea justru memilih untuk membuka aplikasi twitter dan melanjutkan membaca thread menarik yang dia temukan kemarin malam. Sebuah thread tentang recomendasikan barang - barang yang dapat di beli di salah satu ecommers ternama. Kemudian senyumnya mengembang kala beberapa produknya masuk ke dalam rekomendasi outfit hits anak jaman sekarang.

"Nggak sia - sia gue begadang buat survey pasar," gumamnya sebelum perhatiannya teralihkan oleh panggilan telepon pada ponselnya yang lain.

Adalah sederetan nomor tidak di kenal yang muncul di layar. Perempuan itu menimang sejenak sebelum menggeser tanda hijau pada layar ponselnya.

"Hallo," sapanya, setengah ragu. Dalam hati Gea berdoa, berharap jika panggilan ini bukanlah tipuan seperti yang sering terjadi di tengah masyarakat.

Ada helaan napas panjang dari seberang panggilan. "Kenapa pesan saya tidak ada yang kamu jawab, Gea?" tanya pria dari seberang panggilan, suaranya terdengar begitu lega. "You okay?"

Gea mengerutkan keningnya, sekali lagi menatap layar ponselnya yang menampilkan deretan nomor asing yang belum dia simpan. "Sorry, ini siapa?" tanyanya, hati - hati.

"Kevin," jawab suara dari seberang yang membuat Gea mengangkat sebelah alisnya. Terkejut. "Kamu baik - baik saja kan?" tanya Kevin, mengulang pertanyaan sebelumnya.

"Yeah aku baik - baik saja," jawab Gea. Tiba - tiba merasa begitu canggung. "Kenapa memangnya?"

"Saya hubungi kamu dari tadi tapi tidak ada respon. Saya khawatir kamu kenapa - kenapa," kata Kevin dari seberang telepon. "Kamu sudah makan?"

"Oh everything is good, don't worry. As you know aku tidur kayak orang mati karena kecapekan. Baru bangun mungkin sekitar dua jam lalu dan langsung siap – siap buat ketemu orang jadi nggak sempet cek ponsel," jawab Gea, menjelaskan. Satu tarikan di ambil dan asap pekat dari rokok keluar dari mulutnya. "Dan ya aku sudah makan. Thanks buat pizza nya."

Kemudian hening menyelimuti. Membuat Gea tiba - tiba mati gaya, canggung luar biasa. Di situasinya saat ini Gea benar – benar tidak tau harus melakukan apa, harus bersikap seperti apa pada pria itu setelah apa yang mereka lakukan beberapa jam yang lalu. Mereka asing, tapi tidak benar – benar asing.

Dan Gea tidak tau harus melabeli hubungan mereka dengan sebutan seperti apa setelah apa yang mereka lakukan. Tiba – tiba Gea merasa semuanya begitu samar. Benar bahwa Kevin menginginkannya, tapi dalam konteks seperti apa? Menginginkan yang seperti apa? Pasangan untuk bersenang – senang dalam hubungan casual? Atau sebuah hubungan serius di mana pernikahan adalah garis finish yang akan mereka usahakan?

Tiba – tiba Gea tersenyum, seperti orang idiot. Okay, ingatkan Gea untuk meminta kejelasan pada pria itu.

"Gea, apakah kamu marah?"

Kening Gea mengerut sebelum bertanya, "Kenapa aku harus marah?"

"Karena saya pergi tanpa menunggu kamu bangun terlebih dahulu."

Satu helaan napas di ambil sebelum Gea kembali menghisap rokoknya dengan kuat dan menghembuskannya ke udara. "Kamu mau jawaban jujur apa bohong?"

"Tidak ada orang yang mau mendengarkan jawaban bohong Gea."

Gea mengangguk kecil, mengerti. "Nggak marah, cuma sempat kepikiran aja kenapa kamu pergi tanpa pamit. Atau sekedar ninggalin pesan. Tapi ya udahlah, aku nggak mau drama. Toh semuanya punya alasan. Mungkin kamu lagi di situasi tertentu yang mengharuskan kamu pergi buru – buru."

Di seberang telepon Kevin nampak menghela napas panjang. "Pertama – tama saya minta maaf karena sudah begitu kurang ajar dengan pergi begitu saja tanpa pamit sama kamu." Ada jeda sejenak yang di gunakan Kevin sebelum kembali melanjutkan kata - katanya. "David sedang kambuh tantrumnya dan saya harus segera pulang karena mama saya sudah angkat tangan untuk menenangkan dia. Dan saya tidak tega untuk membangunkan kamu, kamu terlihat begitu lelap dan kelelahan."

"Terima kasih sudah menjelaskan," jawab Gea, tidak bisa menyembunyikan nada lega dalam suaranya. "Dan terima kasih juga buat lima organsme hebatnya, aku bisa tidur dengan sangat lelap karena itu."

"You are welcome."

Hening kembali mendominasi suasana di antara mereka. Baik Gea ataupun Kevin sama - sama kehilangan kata - kata. Suatu hal yang sangat jarang terjadi.

"Gea," panggil Kevin, sekali lagi memecahkan keheningan di antara mereka.

"Iya?"

"Boleh saya ketemu dengan kamu?"

"Sekarang?"

"Iya. Sekarang Gea."

"Kalau sekarang aku nggak bisa. Ada meeting dengan orang setelah itu aku harus standbye di club karena ini long weekend."

"Kalau gitu, boleh saya ke tempat kerja kamu?"

Keningnya mengerut dalam, tidak mempercayai tanya yang terlontar dari mulut Kevin. "It's night club mas. Bising, alkohol, rokok. Are you sure?"

"Yeah why not," jawab Kevin, penuh dengan keyakinan.

Gea nampak berpikir sejenak sebelum berkata, "Okay, aku akan share lokasinya. Di whatsapp."

"Okay see you then."

"Okay," balas Gea sebelum mengakhiri panggilan telepon mereka. Untuk sejenak Gea menatap layar ponselnya yang telah menggelap sebelum berteriak kencang.

"Udah sinting lo ya?" sengit Evan yang terkejut oleh teriakan Gea yang tiba - tiba. Yang hanya di tanggapi dengusan oleh Gea.

*** 

DANDELION | MOVE ON SERIES ( NEW VERSION )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang