34. Mengobati Luka

83 14 4
                                    

Siapa yang sudah tidak sabar melihat adegan maniez di sini? 😙

Jangan lupa ritual vote dan komen dulu gaewsss

LEDAKAN amarah Tsabita membuat semua orang terkejut, termasuk Egar, yang saat ini memasang tampang kebingungan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

LEDAKAN amarah Tsabita membuat semua orang terkejut, termasuk Egar, yang saat ini memasang tampang kebingungan. Barangkali karena dia tidak menyangka Tsabita akan berbuat kasar padanya.

"Sayang, kenapa ...."

"Pergi dari sini," kata Tsabita. Sebanyak apa pun kesabaran yang telah diberikannya, sakit hati yang selama ini mengendap dalam pikirannya telah meledak.

"Kamu serius nampar aku?" Egar menatapnya terpukul.

"Karena kamu udah kelewatan." Tsabita mengepalkan kedua tangan di sisi tubuh, menahan sesuatu yang hendak keluar dari pelupuk mata. Tidak boleh. Dia tidak boleh menangis di saat-saat seperti ini. "Aku akan dengar penjelasanmu, tapi bukan sekarang. Sekarang kamu pulang dan kasih aku waktu buat menenangkan diri."

Egar menatap Ihatra yang masih berdiri di belakang Tsabita. "Terus gimana sama or―"

"Pergi." Tsabita menahan napas dengan mata berkaca-kaca. "Kumohon."

Dengan berbagai lapisan perasaan―kemarahan, kecemburuan, malu, dan sedikit perasaan bersalah, akhirnya Egar menyerah. Tidak ada gunanya untuk menjelaskan sekarang. Hatinya sedang kacau sehingga tidak yakin apakah dia bisa menahan tinjunya tanpa dituduh kasar dan egois. Atas pikiran itu, tanpa mengucapkan salam pamit, Egar pergi dari rumah.

Selepasnya, suasana ruang tamu menjadi longgar, meski ada kecanggungan yang tersisa. Tsabita membantu Ihatra berdiri, lalu terkejut melihat sikunya yang tergores. "Mas dipukul?"

Ihatra menggeleng cepat. "Ini kena sudut meja."

Tsabita tidak bisa menyembunyikan betapa remuk-redam perasaannya kali ini. Entah harus bersikap bagaimana setelah kekasihnya melukai orang lain. "Ayo kuobatin dulu." Akhirnya hanya itu yang bisa dia tawarkan.

"Ini enggak papa," tolak Ihatra. "Saya enggak sakit. Mas Egar―" bibir Ihatra terbuka, tetapi dia tidak tahu harus bicara apa. Benaknya tumpang tindih karena merasa terkejut dan menyesal, terutama karena dia pikir kekacauan ini adalah kesalahannya juga. Apabila pagi ini dia tidak datang kemari, apalagi mengaku pada Egar soal perasaannya pada Tsabita, pasti hubungan sepasang kekasih ini akan baik-baik saja, bukan? Dialah yang membuat Egar murka....

"Bita," kata Ihatra, "Lebih baik saya pulang aja."

"Sikunya biar saya obatin dulu," kata Tsabita dengan suara penuh penyesalan. "Sebentar aja, tolong."

Lantaran didesak lembut, Ihatra akhirnya menuruti permintaan Tsabita.

Selagi Tsabita pergi ke ruang sebelah untuk mengambil kotak P3K, Ihatra memungut lukisannya yang dicampakkan ke lantai dan mengembalikannya ke atas meja. Setelah itu dia duduk diam di sofa, menanti Tsabita dengan sabar. Wanita itu kembali beberapa saat kemudian sambil membawa kotak mungil berisi obat-obatan. Dia langsung berlutut di hadapan Ihatra dan meminta izin membersihkan lukanya.

𝐃𝐑𝐎𝐖𝐍𝐄𝐃 𝐈𝐍 𝐓𝐇𝐎𝐒𝐄 𝐃𝐀𝐘𝐒Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang