31. Dua Nomor Kembar

87 14 14
                                    

Hai, Hai, Hai, ada yang nungguin Iyat sama Tsabita nggak? 😆😆

Selamat membaca semuaaaa! Jangan lupa vote dan komen, dong~

Selamat membaca semuaaaa! Jangan lupa vote dan komen, dong~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-oOo-

PERTUNJUKAN Bahar Ajab menjadi sajian hiburan paling meriah. Semua pengunjung dan wisatawan berkumpul di depan panggung sambil menatap terpana sekumpulan penari yang melenggokkan tubuh dengan anggun dan lincah. Banyak di antara penonton yang mengangkat ponsel tinggi-tinggi. Kilatan kamera serta sorot kuning yang menyala dari lampion raksasa mewarnai panggung, menenggelamkan mereka dalam riuh suasana bising dan membahana.

Tsabita, yang penampilannya telah disulap menjadi lebih heboh dan dramatis, seketika menjadi sosok paling menyita atensi. Perhiasan tambahan yang dikenakannya di pergelangan tangan menghasilkan bunyi-bunyian nyaring yang menyihir. Barangkali karena dia adalah penari utama yang menguasai bagian tengah panggung. Ihatra menyaksikan ketika Tsabita membuka kipas, menghunjamkannya ke langit, menapakkan kaki telanjangnya ke bumi, lalu mengentak-entak dan berputar. Ketika mendongak, garis rahangnya yang tajam dan halus membentuk lekukan yang cantik. Tsabita bagaikan roh yang keluar dari lukisan―memukau, bercahaya, tidak nyata karena saking sempurnanya. Dan, Ihatra merekam keindahan Tsabita dengan kameranya, menyimpannya di sana, untuk sewaktu-waktu dikeluarkan ketika dia menorehkan cat lukisnya lagi di atas kanvas.

Seolah-olah ada efek petir yang menyambar (nyatanya itu adalah sorot lampu panggung yang jatuh pada momen yang tepat), Tsabita membuat gerakan jatuh sebagai bagian terakhir rangkaian gerakan tarinya. Semua orang bertepuk tangan, ledakan semangat dan keributan, kamera sekali lagi diangkat di atas kepala untuk mengambil gambar terakhir dari tarian Bahar Ajab.

Barisan penari kemudian berputar, lalu turun dari panggung. Ihatra sudah tidak bisa melihat mereka ketika orang terakhir menghilang di balik tirai. Ada setitik perasaan sedih di hatinya, terutama karena dia tidak bisa menyaksikan tarian itu dari dekat panggung. Sebab, kapan lagi dia bisa melihat festival yang hanya diadakan sekali setahun ini? Belum lagi penarinya adalah Tsabita, gadis desa yang tidak akan dia temui lagi saat kembali ke kota.

Ah... memikirkan betapa singkatnya waktu yang akan dia alami di desa Pinggala membuatnya merana. Ihatra tidak ingin cepat-cepat kembali ke Jogja. Dia ingin berada lebih lama di sini, mengarungi desa, merawat hobinya, dan bertemu Tsabita.

"Woy," celetuk Jayden, melunturkan lamunan Ihatra. Pria itu mengedipkan mata kembali ke permukaan. "Gimana menurut lo?"

Ihatra pura-pura berdeham. "Apanya?"

"Tariannya, njir! Wah, gila. Heboh banget di panggung. Apalagi Tsabita, she hits the spot! Tuh cewek kalau mau diboyong ke Jakarta kayaknya bakalan jadi incaran produser yang lagi nyari artis baru."

"Enggak usah mulai. Dia aja udah happy tinggal di sini."

"Yang bener?"

"Without a doubt."

𝐃𝐑𝐎𝐖𝐍𝐄𝐃 𝐈𝐍 𝐓𝐇𝐎𝐒𝐄 𝐃𝐀𝐘𝐒Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang