30. Dua Anak Panah

91 15 5
                                    

Hehe, enjoy this chapter 🥂

Hehe, enjoy this chapter 🥂

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-oOo-

"TSABITA? Kok kamu di sini?" Mata Ihatra membulat kaget.

Tsabita sendiri nyaris melompat ketika melihat Ihatra, yang dengan dandanan super misterius, ikut mengantre di tengah gelombang pembeli yang padat dan panas ini.

"Yat, buruan!" Terdengar suara Jayden, muncul tenggelam di antara kerumunan.

"Bentar―" Ihatra menatap Jayden, lalu berpaling pada Tsabita, tidak begitu tahu harus bagaimana. "Nanti, kita ketemu di luar ...," ujarnya sekenanya, kemudian ledakan antusiasme para pengunjung di tenda semakin menjadi. Ihatra menekan topinya hingga menutup wajah, kemudian membiarkan tubuhnya diseret oleh seseorang―sudah pasti itu Jayden―untuk segera menyingkir dari kerumunan.

Tsabita, yang terimpit di tengah penduduk yang mendorong-dorong, melihat pria itu menjauh, kemudian memutuskan untuk menyelesaikan urusannya dahulu.

"Dua lagi, Bit," seru Bu Ningsih.

Tsabita, yang berdiri bersama Bu Ningsih di balik konter pemesanan, dengan cekatan menyambar dua anak panah dari atas meja, merogoh lintingan jimat keberuntungan berisi nomor undian yang disimpan dalam laci, kemudian mengikat tali kepang di ujung kertas pada batang anak panah. Sepasang wisatawan pria dan wanita muda yang menunggu di hadapannya menyerahkan sejumlah uang, lalu menerima busur panah itu dengan senang hati.

Bu Ningsih mengingatkan para pembeli dengan antusias, "Pembacaaan undian dimulai jam sepuluh nanti. Nomornya jangan sampai hilang, ya! At ten p.m, Sir and Ma'am! Please come! Come! Come! Wait close the stage! Don't forget the number!" Para wisatawan bule tertawa dan manggut-manggut sambil keluar dari tenda.

Sekitar tiga puluh menit kemudian, pengunjung betul-betul habis, begitu juga dengan anak panah di meja pemesanan yang ludes begitu saja. Bu Ningsih pergi ke balik tenda untuk mengambil minum, sementara Tsabita membetulkan tatanan rambutnya yang disanggul rapi di bawah kepala, kemudian meluruskan kebaya marunnya yang agak kusut dengan tangan. Malam ini dia mengenakan riasan dengan nuansa cokelat yang memberi kesan tegas dan elegan di wajah. Selepas menghela napas lelah, dia menyeka leher dengan punggung tangan.

"Capek, Bit?" tanya Bu Ningsih yang muncul dari belakang kios sambil menyodorkan air mineral. Tsabita menyambut dan meneguk sedikit isinya, lalu menggeleng sopan.

"Masih lebih capek pas nari nanti, Bu. Sekarang kepanasan aja, soalnya banyak orang."

"Kamu bawa tisu, enggak? Nanti make up-nya luntur, loh. Jangan dilap pakai tangan."

"Ada, ada, kok," celetuknya. "Bu Ningsih nanti yang bacain undiannya, kan?"

"Iya, biasanya kan gitu."

Bu Ningsih, sang pemilik kedai di pinggir tebing pantai, sebetulnya juga merupakan adik dari Kepala Desa Pinggala―salah satu kerabat paling dekat dari silsilah Ahwanith, marga keluarga si pemburu yang dahulu dianggap memiliki hubungan tersembunyi dengan legenda putri duyung pantai Pinggala. Setiap tahunnya, Bu Ningsih menerima tanggung jawab untuk membagikan anak panah dan mengundi jimat keberuntungan kepada para pengunjung festival. Kegiatan ini sudah dilaksanakan sejak beberapa puluh tahun lalu, secara turun-temurun. Sepasang pengunjung yang beruntung akan mendapat kehormatan menjadi bintang dalam upacara terakhir sekaligus menerima banyak hadiah dari hasil panen desa.

𝐃𝐑𝐎𝐖𝐍𝐄𝐃 𝐈𝐍 𝐓𝐇𝐎𝐒𝐄 𝐃𝐀𝐘𝐒Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang