Met core, cayaankk. Jangan lupa vote di cerita ini 😆🫶
-oOo-
IHATRA kira dia akan segera minggat dari rumah ini selepas mengucapkan terima kasih kepada keluarga Tsabita, tetapi rupanya mereka malah mengajak pria itu makan malam. Dan karena Shaka memberinya ratapan penuh pengharapan, Ihatra yang hatinya lemah melihat kemalangan di wajah anak SMA itu akhirnya menyambut undangan makan malam dengan senang hati.
Pukul setengah tujuh, setelah semua orang menyelesaikan ibadah, mereka berkumpul di meja makan yang sudah dipenuhi makanan laut. Mereka makan dengan tenang. Tidak ada yang menghujani Ihatra dengan pertanyaan tentang siapa dia atau apa yang dia lakukan di kota asalnya. Tidak pula ada yang bercerita panjang lebar tentang seluk beluk perkampungan Pinggala yang harus Ihatra akui kadang membuat kupingnya lelah. Dia toh sudah tahu bahwa kawasan ini memang indah, dan lebih suka bila orang lain tidak mengaturnya secara berlebihan untuk datang ke tempat ini dan itu.
Dari sesi makan malam, Ihatra juga menjadi lebih kenal dengan keluarga Tsabita. Bu Nilam rupanya adalah kepala keluarga di rumah ini; wanita berperawakan ramping dan berwajah ramah―senyumnya mirip Shaka. Terkadang Ihatra menangkap basah Bu Nilam sedang menatapnya dengan sorot ingin tahu. Barangkali Bu Nilam memang penasaran tentangnya, hanya saja tidak berani untuk menanyakan langsung, atau memang memilih membiarkan Ihatra menjelaskan sendiri―yang tentu saja tidak akan sudi Ihatra lakukan.
"Di sini kami cuma tinggal bertiga," kata Bu Nilam sembari membereskan piring dan gelas yang sudah selesai digunakan. Sementara Ihatra membantu membersihkan permukaan meja makan dengan kain lap (sebelumnya Shaka sudah membujuknya agar tidak perlu melakukan apa-apa, tetapi pria itu menolak). "Cuma ada saya, Shaka, dan Tsabita. Kalau pagi sampai sore biasanya rumah sepi karena anak-anak pada keluar. Satunya jaga toko, satunya lagi sekolah."
Ihatra teringat foto seorang pria berpostur kekar yang dilihatnya di kamar Shaka, dan baru sadar bahwa sejak tadi dia tidak melihat pria itu di mana-mana. Belum sempat Ihatra bertanya, Bu Nilam tiba-tiba menghampirinya dan mengambil kain lap dari tangan Ihatra. "Makasih ya, Yat, karena sudah makan malam di sini. Sudah lama banget rumah kami enggak kedatangan tamu dari luar."
"Saya yang seharusnya terima kasih, Bu." Lalu Ihatra tidak enak sendiri karena Bu Nilam malah meneruskan pekerjaan melap meja. Jangan-jangan ibu ini kesel karena ngelihat gue enggak becus beres-beres?
"Yat," Bu Nilam mendongak pada Iyat. "Kamu istirahat aja. Kakimu kan masih sakit. Nanti Ibu panggilin tukang urut, biar besok orangnya datang ke rumahmu."
"Jangan, Bu―maksudnya enggak usah!" Ihatra tampak panik.
"Loh, kenapa? Kamu enggak biasa dipijat?"
"Saya gelian orangnya." Ihatra nyengir tipis sambil menggaruk leher. Bu Nilam akhirnya mengiyakan alasan itu dan menyuruh Ihatra untuk istirahat lagi di dalam kamar. Namun, Ihatra ogah rebahan di kamar milik orang lain. Sebagai gantinya, dia celingukan di sekitar rumah dan bertanya, "Ngomong-ngomong Shaka sama Mbak Bita ke mana, Bu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐃𝐑𝐎𝐖𝐍𝐄𝐃 𝐈𝐍 𝐓𝐇𝐎𝐒𝐄 𝐃𝐀𝐘𝐒
Romance⭐ Follow sebelum membaca ⭐ Setelah terlibat kasus besar yang menghancurkan kariernya sebagai aktor dan penyanyi, Ihatra Kama melarikan diri ke sebuah pulau kecil di wilayah selatan Indonesia untuk memulai hidup baru. Setidaknya, begitulah yang semu...