five

17 2 0
                                    

Acara Marchioness Arnou selesai, semuanya kembali seperti semula. Berhari-hari, berminggu-minggu, Izekiel dan Eleanor tidak saling menyapa atau berpapasan meskipun mereka tinggal satu rumah. Entah berapa kali mereka berakting sebagai suami istri, tersenyum bahagia, hingga melakukan kontak fisik, tidak ada yang berubah di antara keduanya. Izekiel sibuk dengan urusannya sendiri, begitupula dengan Eleanor. Mereka jarang sekali makan bersama, Eleanor pun sering menghabiskan waktu di luar akhir-akhir ini.

Izekiel kembali menghabiskan waktu-waktunya bersama Rion untuk bekerja, beberapa kertas yang masih menumpuk, tinta yang sudah habis, pena mahal berserakan di atas meja. Izekiel memijit pelipisnya, menghela nafas kasar ketika melihat kerjaaannya semakin banyak. Rion berinisiatif memberinya secangkir kopi, Izekiel meminumnya perlahan.

"Semangat, Tuan." Ujar Rion yang membantu merapikan dan membaca file penting milik Izekiel. "Sudah 75% dikerjakan, sebentar lagi juga selesai."

Izekiel mengangguk, mengambil cangkir kopi dan kembali meminumnya.

"Apakah harus saya bawakan penyemangat untuk Tuan?" Tanya Rion sedikit bercanda.

"Penyemangat? Maksutnya?" Tanya Izekiel heran.

"Nyonya Heimrich—"

"Tidak, tidak. Yang ada bukannya semangat, tetapi kerjaanku semakin banyak." Izekiel kembali memijat pelipisnya.

Rion tersenyum dan menggoda Tuannya. "Benarkah? Padahal Tuan terlihat sangat bahagia setelah pergi ke acara Marchioness Arnou bersama Nyonya."

Izekiel memberikan tatapan mengancam. "Rion"

Rion menyembunyikan senyumnya, kembali bekerja. "Saya hanya mengatakan yang saya lihat, Tuan."

Izekiel menggeleng sambil melihat berkas di tangannya. "Berarti ada yang salah dengan penglihatanmu." Mengambil cangkir kopinya lagi, Izekiel menatap Rion. "Apa yang kau harapkan dari pernikahan bisnis ini?"

"Baiklah, mungkin saya salah lihat." Ucapnya santai, namun mencuri-curi pandang pada Izekiel. Rion tersenyum melihat Tuannya yang baru kali ini dia melihat sisi lain dari Izekiel. Berdehem sebentar lalu mengecek dokumen di depannya, Rion bertanya. "Jadi, kapan kita bisa pulang, Tuan?"

"Aku tidak bisa tahu kapan pastinya, tetapi aku sudah janji dengan ayah untuk membangun bisnis anggur di sini. Para bangsawan wilayah Moritz sama seperti bangsawan Klune, mereka suka minum alkohol. Jadi, menurutku mengembangkan bisnis Keluarga Heimrich di sini tidak buruk. Aku juga sudah melihat beberapa lahan untuk Wine Factoryku. Duke Klautz--tidak, ayah juga setuju."

"Apakah Nyonya Heimrich tahu?"

Izekiel mengangkat bahu. "Aku tidak pernah memberitahunya. Kau tahu kan kita jarang berbicara di rumah? Tapi mungkin dia sudah tahu. Kan ini wilayah kekuasaannya. Mungkin saja dia sudah tahu tanpa ku beri tahu."

Rion terkekeh.

"Kenapa kau?" Tanya Izekiel curiga.

"Tidak apa-apa. Aku hanya penasaran. Kalau wilayah ini merupakan kekuasaan Nyonya, apakah hati anda dikuasai olehnya juga—"

"Rion." Izekiel memberinya peringatan. "Kerjakan saja pekerjaanmu. Berhenti mengatakan hal yang tidak-tidak. Atau kau membutuhkan lebih banyak kerjaan?"

"Tidak—"

"Baiklah. Sekarang aku bisa pergi dari ruang kerjaku." Izekiel beranjak dari kursi dan mendekati Rion, menepuk pundaknya. "Tolong kerjakan semua pekerjaanku ya, Rion." Izekiel kemudian menekan pundaknya lalu tersenyum. "Terimakasih, Rion." Dan kemudian berjalan ke pintu tanpa menghiraukan teriakan Rion yang menggema di ruang kerja.

-

Eleanor berjalan keluar kamar menggunakan pakaian sederhana. Ia terhenti di halaman belakang, duduk sebentar di kursi yang ada di sana, menyuruh pelayan yang mengikutinya untuk membawakan makanan ringan serta teh earl grey favoritnya. Halaman belakang mansion keluarga Klautz memiliki taman yang cukup luas, karena ibunya sangat menyukai tanaman. Beberapa jenis bunga seperti mawar, aster, dahlia, lili, geranium, matahari, anggrek, lavender, serta krisan, dari beragam warna. Mansion ini pun punya rumah kaca besar yang berisikan bunga-bunga dan tanaman spesial yang membutuhkan suhu maupun perawatan tertentu.

Eleanor membawa buku bisnis dengannya dan menghabiskan waktu membaca, sedangkan para pelayan dipersilahkan untuk meninggalkannya sendirian. Ketika ia memiliki waktu luang, Eleanor menghabiskan waktunya dengan membaca dan menikmati makanan ringan yang dibuat oleh chef berkelas di rumahnya, serta menyeruput teh hangat favoritnya. Kali ini, dengan buku bisnis bersamanya, ia ingin membuka usaha baru atas nama dirinya sendiri. Lahir di keluarga yang memiliki usaha tambang terbesar di wilayah Moritz, Duke Klautz tentu sudah memberikan beberapa usahanya pada Eleanor. Tetapi Eleanor lebih suka membangun bisnisnya sendiri sesuai dengan ketertarikannya, yaitu kafe mewah untuk para bangsawan. Saat ini Eleanor sudah memiliki satu kafe, yang bernama Myraline. Ia ingin mengembangkan usahanya, selain ingin membuka cabang di wilayah lain, Eleanor ingin membuka salon kecantikan di dalam kafenya tersebut tetapi belum terealisasikan karena dia masih membutuhkan beberapa furnitur dan pegawai yang ideal untuk bisnis barunya. Ia sangat bersyukur menikah dengan Izekiel yang berarti usaha tambang yang diberikan kepada Eleanor dilimpahkan kepada suaminya, sehingga ia tidak perlu pusing untuk memikirkan itu. Ia mempercayakan hal tersebut pada Izekiel sepenuhnya, seperti ayahnya yang sangat mempercayakan dirinya pada Izekiel.

Izekiel yang keluar dari ruang kerja mencari udara segar dan berkeliling di mansion Klautz. Dia belum pernah mengitari mansion Klautz, dan menyempatkan diri untuk berkeliling melihat mansion. Ia tersenyum kepada pekerja yang berlalu lalang saat dia melihat-lihat sekitar. Izekiel kemudian menemukan Eleanor yang sedang sibuk membaca di taman. Rambut panjang Eleanor yang sengaja ia gerai, tangan kirinya memegang buku dan matanya sibuk membaca, tangan kanannya memegang cangkir teh mahal berwarna putih berlapisi emas, sesekali tangannya mengambil makanan ringan yang sudah disediakan di atas meja. Izekiel sibuk memperhatikan Eleanor, ia menyilangkan kedua tangannya di dada, bahunya menyandar pada pilar di sampingnya.

Pelayan-pelayan yang berlalu-lalang memperhatikan Izekiel yang tengah sibuk menatap istrinya itu. Salah satu dari mereka mendekati Izekiel, menyapanya. Sapaan pelayan tersebut terdengar oleh Eleanor. Ia menoleh ke arah suara, melihat Izekiel yang menggunakan kemeja merah marun dengan dua kancing atasnya dibuka, bagian lengannya di tarik ke atas, dan rambutnya yang sedikit berantakan. Alis Eleanor naik sebelah, bibirnya mencekung ke bawah, seakan aneh melihat Izekiel.

"Apakah Tuan ingin menemani Nyonya? Saya akan bawakan cangkir dan makanan ringan untuk Tuan."

Izekiel menoleh Eleanor yang sedang mengangguk. "Baiklah. Terimakasih." Ucapnya dan mendekati Eleanor, duduk berhadapan dengan istrinya.

Eleanor kemudian melanjutkan membaca buku yang ada di tangannya. Izekiel duduk canggung dan curi-curi pandang ke arah Eleanor, takut apabila istrinya itu marah.

Izekiel mengepalkan tangan di depan bibirnya, berdehem. "Aku tidak menyangka kalau kau tertarik dengan bisnis."

Eleanor tidak menjawab, sibuk membaca bukunya. Izekiel sudah mengerti watak istrinya ketika hanya ada mereka berdua. Sadar bahwa ia sedang diabaikan kembali oleh istrinya, Izekiel melotot ketika Eleanor kemudian merespon perkataannya.

"Ya." Respon Eleanor singkat.

"Apa...kau tahu aku ingin memperluas bisnisku di wilayah Moritz?"

Eleanor menggeleng. "Tidak tahu dan tidak mau tahu."

Sudut bibir Izekiel naik sedikit lalu mengalihkan pandangannya ke arah aula. Meskipun Eleanor selalu mengabaikannya, terkadang tingkah dan ucapan Eleanor membuatnya tersenyum.

Izekiel yang masih memperhatikan Eleanor membuat Eleanor menaruh buku di atas meja, salah satu alisnya naik. "Apa?" Tanyanya sedikit cemberut.

"Tidak." Jawabnya yang masih memperhatikan Eleanor.

Ternyata, mencari udara segar ketika sedang bekerja itu tidak buruk juga. Batinnya. 

Paint It All Red (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang