nine

9 2 0
                                    

Keadaan kembali seperti semula. Berhari-hari Eleanor mencuri pandang ke lorong saat dia berada di taman, berharap untuk melihat Izekiel, apakah lelaki tersebut sudah sembuh atau belum. Seminggu berlalu, Izekiel masih tidak terlihat. Eleanor sangat kesal. Yang pertama, dia kesal mengapa tiba-tiba saja laki-laki itu menghilang. Kedua, dia kesal kenapa dia peduli sekali dengan suaminya itu. Eleanor tidak bertanya pada para pembantu atau pekerja lain karena gengsinya sebesar mansionnya. Menyampingkan rasa pedulinya, Eleanor kembali membaca buku.

Entah berapa lama ia menghabiskan harinya sendirian di taman belakang, suara dua lelaki sedang bercakap samar-samar terdengar di lorong. Eleanor menaikkan bukunya ke wajahnya, mengintip kedua lelaki tersebut. Ia tahu bahwa ini adalah suara Rion dan Izekiel, tetapi ia ingin melihat Izekiel apakah suaminya itu sudah sembuh atau belum. Suara semakin dekat, pandangan Eleanor pada Izekiel juga semakin jelas. Setelah tahu kondisi suaminya yang sudah lebih baik, ia lalu menurunkan bukunya perlahan, dan melanjutkan baca.

Pelayan datang membawakan minuman dan makanan untuk Izekiel. Menu hari ini jus jeruk dengan pie stroberi, sesuai dengan permintaan Eleanor. Izekiel mengambil pie dan memakannya perlahan.

"Kebiasaan burukmu, masih saja." Ujar Eleanor tanpa melihat Izekiel.

Izekiel bingung, meraba bagian bibirnya. "Apa aku makan berantakan?" Tanyanya. Berapa kali dia meraba di daerah bibirnya, remahan pie tidak ditemukan. "Aku tidak pernah makan berantakan."

"Tidak ada yang menyuruhmu untuk duduk, tapi masih saja kau lakukan. Siapa yang suruh kau datang kemari?"

"Ah..." Izekiel mengangguk. "Aku hanya ingin tahu apakah istriku menikmati hari-harinya akhir ini. Kau tidur nyenyak?"

"Bukan urusanmu."

Izekiel tersenyum. "Ku kira kau tidak bisa tidur tanpa ku peluk."

Eleanor berhenti membaca dan menatap Izekiel dingin. "Tanpa kau pun aku masih tidur nyenyak!" Rasanya ia ingin sekali merobek wajah Izekiel karena menatapnya dengan tatapan menggodanya.

"Benarkah?" Izekiel mengangguk kembali. "Apakah kau tahu bahwa kau mendengkur—"

"Cukup! Berhenti menggangguku!" Eleanor menaruh bukunya dan mengusir Izekiel.

"Biarkan aku di sini lebih lama. Kapan lagi aku bisa melihat istriku." Respon Izekiel cuek, tidak memperdulikan Eleanor yang sudah mengutuknya dari tadi lewat tatapan matanya. "Kau bahkan tidak menemuiku ketika aku sakit. Ah, sedih sekali." Izekiel kembali mengambil pie dan memakannya.

Eleanor yang sibuk menatap bibir Izekiel yang bergerak kesana-kemari, menaikkan alisnya sebelah. "Tampaknya kau akan lebih sakit apabila tidak menggodaku, ya?!

Izekiel tertawa lepas. Baru kali ini dia melihat Izekiel tertawa seperti itu. Membersihkan beberapa remahan pie di mulutnya, Izekiel lalu mengambil jus jeruk.

Eleanor yang semakin kesal, karena hari demi hari dia terus digoda oleh suaminya, mengusirnya lagi. "Sudahlah, aku tidak mau melihatmu. Pergi saja sana!"

Izekiel bangun dari duduknya dan melangkah pergi tanpa menatap Eleanor. Sebelum pergi, Izekiel berkata. "Kalau kau ingin ke kamarku, pergi saja. Jangan lupa mengetuk pintu terlebih dahulu." Ia tahu bahwa Eleanor akan bereaksi atas ucapannya, maka dari itu dia memotong Eleanor, tidak memberikan kesempatan istrinya berkata sepatahpun. "Padahal aku ingin sekali waktu itu diobati olehmu. Sayang sekali." Ia melangkah menjauhi Eleanor, meninggalkan Eleanor dengan wajah merahnya.

Jadi...dia tahu kalau aku ingin ke kamarnya waktu itu? Batin Eleanor. Eleanor menutup wajahnya dengan tangan kanannya. Harusnya aku tidak pergi ke sana, kenapa hal itu sangat menggangguku, sih?! Batinnya lagi.


-


"Kau tidak ingin pulang, El?" Tanya Wilhelm yang bingung melihat Eleanor masih saja duduk di kasurnya. "Orang rumah pasti mencarimu."

"Suamiku, maksutmu?" Tanya Eleanor pada Wilhelm, ia melepaskan coat bulu berwarna biru dan melemparkannya ke sofa. "Aku ingin bermalam di sini." Ujarnya dan berbaring di kasur.

Wilhelm tidak bisa membohongi dirinya bahwa ia sangat senang mendengar perkataan Eleanor. Meskipun begitu, ia sadar bahwa ini salah. Beberapa kali ia membujuk Eleanor untuk segera pulang, Eleanor tidak bergeming. Wilhelm menyerah, dan membuka kancing dua atas kemejanya dan meraup wajahnya dengan kedua tangan. Ia duduk di sofa dan melihat Eleanor tertidur di kasurnya. Sudah lama ia tidak melihat Eleanor yang tertidur di kasurnya.

Wilhelm mengambil bantal dari kasurnya dan menaruhnya di sofa. Ia memindahkan coat Eleanor terlebih dahulu dan berbaring. Matanya tidak terlepas dari Eleanor. Dirinya tersentak mendengar suara Eleanor.

"Tidak biasanya kau tertidur di sofa ketika aku di sini. Kau biasa tidur di kasur bersamaku." Kedua mata Eleanor terbuka, mereka saling bertatapan.

Sororan mata Wilhelm ke sembarang tempat, tidak ingin menatap Eleanor terlalu lama. "Tak apa, kau bisa tidur di sana. Ada beberapa dokumen yang harus aku baca nanti." Elak Wilhelm. Sebenarnya, ia tidak ingin lepas kendali. Melihat Eleanor yang datang lagi ke padanya seperti dulu membuatnya gila. "Kau tidurlah duluan."

Bukannya tidur, Eleanor berpindah ke sofa, menaruh kepalanya di bahu Wilhelm. "Kalau begitu, aku akan menemanimu."

Dada Wilhelm berdegup kencang, ia yakin Eleanor bisa mendengarnya. "E-El."

"Aku tidak ingin pulang. Biarkan aku bermalam di sini." Eleanor memeluk Wilhelm, membenamkan wajahnya di dada bidang Wilhelm.

"B-baiklah. Kau tidurlah di kasur, aku akan menyusulmu nanti."

Eleanor melepaskan pelukannya dan tersenyum. Ia berlari kecil ke kasur dan mengucapkan selamat malam pada Wilhelm. Tanpa ia ketahui, bahwa Wilhelm sibuk menenangkan jantungnya yang berdegup kencang serta menutup wajah merahnya dengan telapak tangan.

Bagaimana caranya aku bisa menghilangkan perasaanku padamu, El. Kau satu-satunya wanita yang ku inginkan di antara banyak wanita yang mendekatiku. Batinnya. 

Paint It All Red (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang