twenty six [last chapter]

12 1 0
                                    

Suara tangisan bayi berubah menjadi tawa yang memenuhi mansion Klautz. Tak terasa Erren sudah memasuki usia 2 tahun. Para pelayan sedikit kewalahan menjaga Erren ketika bermain karena tingkahnya yang sangat aktif. Erren senang masuk ke ruang kerja Izekiel dan mengganggu ayahnya. Tak hanya itu, Rion pun sering menjadi korban kejahilan Erren. Mulai dari penanya yang sering hilang, tinta yang berserakan di mana-mana, atau dokumennya yang rusak. Saat ini, Eleanor sedang memangku Erren di ruang kerja Izekiel karena Erren yang tidak mau makan.

"Dia tidak sabar ingin jadi penerus keluarga Heimrich." Ujar Rion yang terkekeh melihat Erren dengan wajah ingin menangis karena Eleanor tidak mengizinkannya untuk duduk di pangkuan ayahnya yang sedang bekerja.

"Makanlah dulu, sayang."

"Ayah..." Erren menunjuk ayahnya yang sedang membaca laporan hasil penjualan toko wine.

"Makanlah dulu, sayang. Nanti baru boleh bermain dengan ayah." Bujuk Eleanor lagi yang memegang sendok kecil penuh bubur untuk Erren.

Erren menatap ibunya dengan penuh haran. "Ayah..."

"Ya. Sehabis makan, baru boleh bermain dengan ayah." Eleanor menyuapi Erren dan Izekiel duduk di samping Eleanor, mengelus puncak kepala anaknya.

Erren tertawa dan merentangkan tangannya, meminta ayahnya untuk menggendong. Izekiel mengambil Eren dari pangkuan Eleanor dan menaruh anaknya di pangkuannya. Izekiel menyentuh hidung Erren gemes. "Nakal sekali ya anak ayah tidak mau makan." Eleanor menyuapi Erren dan Izekiel mengambil tisu mengelap sudut bibir anaknya.

Rion mengamati Tuan dan Nyonyanya. Sudut bibirnya naik tanpa ia tahu. Melihat senyuman di wajah Rion, Izekiel menggodanya. "Carilah wanita untuk menemani hidupmu."

"Kalau saya memiliki waktu, saya akan mencari, Tuan."

"Tenang saja, kau akan memiliki waktu banyak."

Rion memiringkan kepalanya sedikit, bertanya-tanya maksut ucapan Izekiel.

"Kalau Erren sudah besar, kan dia yang nantinya akan membantuku." Ejek Izekiel.

"Maksut Tuan, saya baru bisa mencari wanita nanti saat Erren sudah besar, begitu?" Tanya Rion tak terima.

Izekiel dan Eleanor tertawa. Erren melihat kedua orang tuanya tertawa ikut tertawa. Rion menggelengkan kepalanya. Ia memijit pelipisnya yang tidak sakit.

"Pergilah." Ujar Izekiel pada Rion. "Aku memberimu waktu libur seminggu."

Rion tidak bergeming. Ia tahu, Tuannya pasti hanya menggodanya saja.

"Taruh dokumenmu dan berliburlah. Aku akan menghabiskan waktuku dengan anakku." Izekiel menggendong Erren.

Rion buru-buru menaruh dokumen dan merapikannya sebelum Tuannya berubah pikiran. Rion berterimakasih dan menunduk pamit ke pada Izekiel dan Eleanor. Setelah itu, ia menutup pintu ruang kerja, meninggalkan keluarga kecil Heimrich di sana.

"Apakah kau mau menemani ayah ke taman?" Tanya Izekiel pada Erren.

"Ya!" Jawab Erren semangat.

Eleanor mengelus puncak kepala Erren. "Semakin hari, dia semakin mirip denganmu."

Izekiel terkekeh. "Apakah ini saatnya kita buat mini Eleanor?" Tanya Izekiel sumringah.

Eleanor menepuk bahu Izekiel. "Tidak sekarang. Aku masih terlalu sibuk dengan usahaku."

Izekiel mengalungkan tangannya di pinggang Eleanor, kepalanya bersandar di kepala Eleanor. "Terserah kau saja. Kalau kau tidak menginginkannya pun tidak masalah. Aku paham El, mengandung itu bukan hal yang mudah. Aku mendukung semua keputusanmu."

Paint It All Red (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang