thirteen

13 1 0
                                    

Setelah Izekiel keluar dari kamar Eleanor di malam itu, Eleanor tidak lagi melihat Izekiel di mansionnya sudah hampir seminggu. Eleanor tidak bertanya ke mana suaminya itu pergi, dia juga tidak mencari tahu. Rasa kesalnya sudah sedikit reda, meskipun terkadang wajah Izekiel muncul di benaknya secara tiba-tiba. Eleanor tidak ingin memikirkannya terlalu lama, ia mencoba mengalihkan pikirannya berhari-hari.

Ada atau tidaknya dia, selalu membuatku kesal.

Sejak kemarin, Eleanor tidak tinggal di mansionnya. Ia memilih untuk tinggal sebentar bersama Wilhelm. Suasana mansion ketika ditinggalkan oleh Izekiel dan Eleanor pun tidak ada yang berubah. Eleanor kembali sebentar ke mansion diantar oleh Wilhelm untuk mengambil pakaian ganti serta beberapa dokumen, lalu mengabari kepala pelayan bahwa ia tidak akan pulang sampai minggu depan. Kepala pelayan memberikan informasi terkait kedatangan Izekiel dua hari lagi, namun Eleanor tidak peduli dengan hal itu.

Biar dia merasakan bagaimana bila tidak ada aku di sini.

Setelah mengambil semua yang ia butuhkan, Eleanor kembali ke rumah Wilhelm. Di perjalanan menuju rumahnya, Eleanor mampir sebentar untuk membeli wine yang akan dia minum bersama Wilhelm. Wilhelm membantu Eleanor memilih wine kesukaan wanita yang ia cintai itu. Wilhelm mengambil wine yang sama dengan apa yang Eleanor minum saat malam itu. Eleanor menggeleng, membuat Wilhelm bingung.

"Bukankah kau...menyukai ini?" Tanya Wilhelm yang menatap Eleanor heran, kedua matanya terbuka sedikit melebar.

"Tidak. Aku tidak suka." Respon Eleanor jengkel. "Rasanya sudah tidak enak." Ujarnya singkat tanpa menatap Wilhelm.

Wilhelm selalu mengamati Eleanor, bahkan ia tahu semua apa yang disukai oleh Eleanor. Makanan, gaya pakaian, desainer favorit, musim yang disukai, apapun itu, semuanya ia tahu. Mustahil bila Wilhelm tidak tahu wine favorit Eleanor. Wilhelm tidak bertanya lebih lanjut, dan mencari wine lain yang rasanya mirip dengan wine yang ia pegang.

Eleanor sibuk berdebat dengan pikirannya. Karena melihat wine tadi, moodnya berubah drastis. Eleanor menarik Wilhelm untuk mengajaknya keluar. "Kita cari minuman lain saja."

"Tapi, El—"

"Kita cari minuman lain." Tekan Eleanor sekali lagi.

Wilhelm menurut. Namun Wilhelm kembali memikirkan kejadian barusan.

Pasti ada sesuatu yang terjadi dengan Eleanor dan wine itu. Tapi apa? Apakah dia...



-



Wilhelm memberikan segelas air putih kepada Eleanor yang masih berkutat dengan dokumen-dokumen miliknya. Salon Eleanor akan dibuka segera, semuanya sudah dipersiapkan dengan matang. Ia juga sudah mengundang beberapa bangsawan yang akan hadir untuk grand opening salonnya. Wilhelm lalu lanjut memasak. Hari ini ia berinisiatif untuk membuat krim sup jamur dan roti panggang untuk Eleanor. Setelah semuanya selesai, Wilhelm duduk di samping Eleanor, memperhatikan wajah cantiknya yang sedang membaca dokumen.

"Makan malam sudah siap." Wilhelm menyibak beberapa helai rambut Eleanor yang ada di pipinya, menaruhnya ke belakang kuping. "Makanlah dulu selagi masih hangat. Aku membuatnya spesial untukmu."

Eleanor tersenyum tipis. "Terimakasih, aku akan makan sebentar lagi."

Melihat sudut bibir Eleanor naik membuat dada Wilhelm berdegup kencang. Kalau saja...aku bisa memilikinya. Pikiran Wilhelm penuh seketika. Apa kau mungkin bisa menjadi milikku kalau saja statusku tinggi—

"Jangan menatapku seperti itu. Aku tahu aku cantik." Suara Eleanor membuatnya tersadar. "Ayo makan." Eleanor beranjak dari kursi dan menepuk pundak Wilhelm. "Kenapa kau yang sibuk sekarang?"

Wilhelm tersenyum dan menggeleng. "Tidak. Ayo kita makan." Wilhelm dan Eleanor berjalan ke meja makan, ia menarik kursi Eleanor, mempersilahkannya untuk duduk.

Keduanya tidak bersuara. Wilhelm masih sibuk memandang wajah Eleanor, Eleanor pun sibuk dengan pikirannya sendiri. Memperhatikan gerak-gerik Eleanor yang terlihat malas untuk memakan masakannya, Wilhelm membuka suara.

"Apa makananku kali ini tidak enak?" Tanyanya.

"Tidak. Tidak apa-apa. Aku hanya memikirkan pekerjaanku." Eleanor meyakinkan Wilhelm. "Tidak ada yang salah dengan makanan ini. Kau selalu memasakkan makanan yang enak untukku."

Wajah Wilhelm berbinar mendengar ucapan Eleanor. Ia mengelap sudut bibir Eleanor menggunakan ibu jarinya. "Makanlah yang banyak kalau begitu." Mata keduanya bertemu, mereka tukar senyum singkat.

"Terimakasih." Ucap Eleanor yang masih tersenyum. Kemudian sesaat bayangan Izekiel muncul lagi di benaknya. Apa Izekiel juga akan memperlakukanku seperti ini? Apakah mungkin suatu saat dia bisa mencicipi makanan Iz—Tidak. Tidak perlu berpikir seperti itu. Eleanor menggeleng dan melanjutkan makan.

"Apakah kau benar baik-baik saja, El?" Tanya Wilhelm.

"Tentu." Eleanor menaruh alat makannya dan menatap Wilhelm dalam. "Wil." Panggilnya.

"Ya?"

"Tidurlah denganku malam ini."

"Apa?!" Kuping Wilhelm serasa tak percaya mendengarnya.

"Tidurlah denganku, Wil." Pintanya lagi.

"Tapi, El..." Belum sempat berpikir jernih, Eleanor segera beranjak dari kursinya dan membungkam bibir Wilhelm dengan kasar. 

Paint It All Red (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang