nineteen

7 2 0
                                    

Rasa bosan makin menyelimuti Eleanor. Terhitung sudah 37 hari Izekiel pergi ke Klune dan ia tidak mendengar berita apapun tentang suaminya. Eleanor beranjak dari kasur, mengambil secarik kertas dan pena tinta dari laci samping kasurnya. Setelah itu ia berjalan menuju meja riasnya. Ia memulai menuliskan sepatah dua patah kata, yang nantinya ia akan kirim ke Klune untuk Izekiel.

Tangannya berhenti menulis. "Tidak-tidak. Untuk apa aku mengirimkan surat untuknya?!" Eleanor menaruh pena tinta di meja riasnya, kemudian mengusap wajah dengan kedua tangannya. "Kenapa dia tidak kunjung pulang?!" Eleanor menggerutu tidak berhenti. Tiupan angin yang masuk ke dalam kamarnya, membuat kertas itu terjatuh ke lantai. Eleanor mengambil kertas itu, meremasnya, dan membuangnya ke kotak sampah.

Eleanor melangkah menuju balkon kamarnya. Melipat kedua tangannya di dada, mencari cara untuk mendapatkan info tentang suaminya. "Apa harus aku menyuruh Wilhelm untuk mencari tahu?" Eleanor menggeleng. "Tidak. Aku tidak ingin bertemu Wilhelm." Di balkon, Eleanor melihat kepala pelayan yang sedang berdiri di dekat taman ditemani beberapa pelayan. Bibirnya melengkung ke atas. Ia berlari dari balkon untuk menemui kepala pelayan sesegera mungkin.

Mungkin aku bisa mendapatkan info tentang Izekiel dari kepala pelayan.



-



Eleanor berjalan mendekat kepada kepala pelayan, mendengarkan pembicaraan mereka. Namun, bukan info tentang suaminya yang ia dapatkan.

"Nyonya." Sapa kepala pelayan menundukkan kepalanya ketika melihat Eleanor yang tiba-tiba berada di dekatnya. "Apa ada sesuatu yang Nyonya butuhkan?"

Eleanor berdehem. "Tidak. Tidak ada." Eleanor mengalihkan pandangannya. "Apa...seseorang akan datang ke sini?" Eleanor melihat beberapa pelayan yang sedang sibuk menata taman.

"Ah." Kepala pelayan melihat ke arah pandangan Eleanor. "Tidak, Nyonya. Tuan berpesan agar--"

"Tuan?"

"Ya. Duke Heimrich berpesan agar dibuatkan taman baca untuk Nyonya. Nyonya baru saja sembuh, suhu di Moritz semakin meninggi. Tuan takut kalau Nyonya jatuh sakit kembali."

"Apa dia...mengirimkanmu surat?"

Kepala Pelayan mengangguk. "Ya, Nyonya."

Eleanor tertawa, ia ingin bertanya lebih banyak, namun rasa kesalnya membuncah. Sejak kapan ia menulis surat? Apakah memang tidak ada surat satupun untukku? Kepala pelayan pamit dan melanjutkan pekerjaannya. Mengepalkan tangannya, Eleanor bergumam. "Jadi kau sama sekali tidak memikirkan aku. Awas saja kau!" Dengan langkah berat ia kembali ke kamarnya.

"T-Tuan!"

Langkah Eleanor terhenti mendengar kepala pelayan memanggil Izekiel dengan nada terkejut. Eleanor buru-buru sembunyi di lorong-lorong, mencuri pandang.

"Mari saya bawakan, Tuan." Tawar kepala pelayan namun Izekiel menggeleng.

Matanya memandang taman. "Taman baca untuk Eleanor belum selesai?" Tanya Izekiel kepada kepala pelayan.

"Maaf, Tuan. Kemungkinan baru selesai dua hari lagi. Beberapa barang baru sampai di mansion Klautz."

Izekiel mengangguk. "Apakah istriku sudah lebih baik?"

"Sudah, Tuan. Nyonya sudah sembuh. Nyonya--"

Rion menyela. "Maaf, tetapi Tuan harus istirahat segera." Rion membungkuk pada kepala pelayan dan membawakan barang Izekiel. "Mari saya antar ke kamar, Tuan." Tawar Rion.

Eleanor yang sedari tadi memperhatikan suaminya kemudian pergi ke kamar. Dadanya berdebar tidak karuan, rasa kesal dan rindu bercampur menjadi satu. Untuk apa kau bertanya pada kepala pelayan tentang aku! Kenapa kau tidak langsung saja bertanya denganku?!



-



Izekiel ingin sekali segera menemui Eleanor, tetapi Rion menahan dan menyuruhnya untuk beristirahat terlebih dahulu. Selama di Klune, Izekiel menghabiskan waktunya untuk bekerja membantu keluarganya. Ia memangkas jadwal tidurnya agar bisa segera kembali ke Moritz. Sebenarnya, Izekiel merencanakan untuk pergi ke Klune hanya dua minggu, sampai ia merasa bahwa Eleanor siap menemuinya. Ia tidak menyangka bahwa ada pekerjaan mendesak yang mengharuskannya mengambil alih semua pekerjaan ayahnya.

Izekiel melepas dua kancing teratas dan duduk di kasurnya. Ia terkejut mendapati kasurnya yang hangat dan bantalnya harum tubuh Eleanor. Izekiel tersenyum, dadanya berdebar kencang. "Aku juga merindukanmu, El." Badannya ingin sekali berlari dan segera memeluk istrinya, namun tubuhnya terasa sangat berat untuk bergerak. Izekiel berniat untuk beristirahat sebentar sebelum bertemu dengan Eleanor.

Kepalanya berdenyut, matanya terasa sedikit panas. Izekiel terbangun sebentar untuk mengambil air minum. Tangannya memijit kepalanya yang terasa sakit. Izekiel membunyikan lonceng, memanggil pelayan. Ia tidak sanggup untuk bangun dari kasur. Pelayan datang setelah mendengar lonceng dan berteriak ketika melihat kondisi Izekiel yang sudah sangat pucat. Beberapa pelayan berdatangan masuk ke dalam kamar setelah mendengar teriakan. Salah satu dari mereka memberitahukan kepada kepala pelayan dan memanggil dokter. Kamar Izekiel yang biasanya sepi, kini ramai dipenuhi beberapa pelayan yang membantunya mengganti pakaian dan membawakan makanan hangat, serta dokter yang sedari tadi memeriksanya.

Izekiel sibuk mencari istrinya di kerumunan orang banyak. Rasa sesak di dada muncul ketika ia tidak menemukan Eleanor di sana. Bibirnya terasa pahit, Izekiel tersenyum getir. Dokter memberikan obat dan menyuruh Izekiel istirahat. Semua orang keluar dari kamar Izekiel, membiarkan Izekiel tertidur lelap tanpa terganggu.



-



Eleanor mondar-mandir di kamarnya setelah mengetahui suaminya pulang. Menggigit kuku telunjuknya, Eleanor mencoba untuk menenangkan diri. Ingin sekali ia menemui Izekiel dan memarahi suaminya yang sudah meninggalnya sebulan lebih. Tapi Eleanor tidak ingin menemui suaminya duluan. Egonya terlalu besar untuk menunjukkan diri bahwa dia sebenarnya rindu.

Membuka pintu kamar perlahan, Eleanor mengendap-ngendap pergi ke kamar suaminya. Di dekat ruangan kamar Izekiel, ia melihat beberapa pelayan yang keluar-masuk, Eleanor buru-buru untuk bersembunyi. Kupingnya mendengar beberapa percakapan yang terjadi dan matanya terbelalak tidak percaya. Izekiel...sakit? Eleanor terus bersembunyi sampai semua orang pergi dari kamar Izekiel.

Apa yang terjadi padamu, Iz? Batin Eleanor. Memastikan bahwa tidak ada orang lagi yang berada di dekat kamar Izekiel, Eleanor menampakkan dirinya. Ia membuka pintu kamar Izekiel perlahan dan melihat suaminya dengan wajah lelah dan pucat tertidur di kasur. Ia duduk di pinggir kasur, memegang dahi suaminya dengan telapak tangannya. "Cepat sembuh. Aku ingin sekali memarahimu, tahu." Ujar Eleanor sepelan mungkin. "Awas saja, aku benar-benar marah padamu." Eleanor memindahkan tangan Izekiel yang ada di dada. Ia menarik selimut hangat tebal menutupi badan Izekiel. Tangannya mengelus puncak kepala Izekiel lembut. "Aku tidak mau tahu, kau harus segera sembuh." 

Paint It All Red (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang