CHAPTER 1 - Dimensi Alam Yang Berbeda

64 15 43
                                    

Di suatu gedung perpustakaan ternama, seorang pemuda terlihat mendorong daun pintu sebelum memasuki ruangan yang dipenuhi oleh rak buku. Sesosok lelaki terlihat mengenakan kemaja putih dengan jas hitam yang membalut tubuh, serta syal merah yang masih melingkar dibagian leher, seakan menggambarkan ciri khasnya sebagai seorang penulis novel ternama.

Seorang wanita muda dengan senyum indah menawan baru saja mengulurkan sebelah tangan, guna menyambut kedatangan sang pemuda yang bernamakan Nirwana Jaya Saputra.

Derap suara langkah mendominasi keheningan abadi pada ruangan tengah, membawa Nirwana agar tetap berjalan melewati puluhan rak besi yang dipenuhi oleh sekumpulan buku sekitarnya.

Kursi kayu dengan meja bernuasa klasik menyambutnya. Lelaki itu duduk bersadar guna melepas letih pada punggungnya.

Wajahnya terlihat muram dengan sebelah tangan yang menopang dagu. Pandangannya sempat teralihkan pada jendela berlapis kaca, membuat lelaki itu mengamati lamat-lamat langit biru yang berselimut hamparan mega.

"Seandainya aku dapat memutar waktu, mungkin ia tidak akan pergi untuk meninggalkanku," helaan nafasnya mengusik sepasang telinga, membuat pemuda tersebut tersungging dalam senyumannya. "Terkadang aku berpikir ... seandainya aku dapat berpetualang melawan monster seperti di dalam game Ghensin Impact, mungkin akan terasa sangat menyenangkan."

Nirwana mengalihkan pandangannya keluar jendela, mengamati hamparan awan kelabu yang melapisi permukaan udara di luar sana. Sekelebat bayangan hitam membentuk suatu aura kuning keemasan di meja, membentuk suatu buku dengan ketebalan di bagian halamannya.

Saat Nirwana menoleh, ia dikejutkan oleh adanya suatu buku yang terpampang di atas meja. Dahinya mengkerut seketika, membayangkan tentang siapakah orang yang menaruh barang di tempatnya. Suatu buku bersampul kulit rusa bertuliskan sebuah nama, 'Imperial Arms'

"Sejak kapan aku menaruh buku di sini?" Nirwana menelisik ke sejumlah arah, namun tak seorang pun yang berada di sekitarnya. Pemuda itu menghela nafas dan membaca judul yang terpampang pada sampulnya. "Imperial Arms ... Nama dari buku ini sama sekali tidak asing bagiku, sebab aku pernah menulis novel dengan judul yang sama. Lalu siapa yang menaruh buku ini di atas meja? Entahlah ...."

Suara sambaran petir menggelegar di tengah hamparan udara, menciptakan kilatan cahaya kala pemuda itu membuka salah satu halaman buku di atas meja. Angin dingin mendominasi kepekatan awan di luar ruangan perpustakaan, menciptakan rintik hujan yang menjadi deras mengguyur daratan.

Satu baris tulisan kian terbaca dari mulut Nirwana. "Saat kematian berada di depan mata, goresan katana dianggap sebagai tarian pedang di bawah bulan purnama. Rakyat kecil menderita dibalik isak tangis dan air mata ... Melambangkan kematian para era kehancuran dunia dan seisinya."

Pemuda itu merasa kebingungan dengan paragraf yang ia baca, hingga pada akhirnya ia pun membalik halaman berikutnya untuk membaca baris kalimat di dalamnya.

"Keindahan hanyalah sebatas angan, kematian adalah akhir dari kehidupan. Atas nama Dewa ... Terbukalah gerbang neraka bagi kesatria untuk mengarungi pahitnya api neraka!"

Suatu aura kuning keemasan mengawali terciptanya percikan cahaya yang mampu menyilaukan pandangan mata, mendominasi kehampaan yang tercipta dengan kemunculan gerbang dengan sepasang pilar di kedua sisinya.

"Astaga! Apa-apaan, ini?!" Sentak Nirwana. Namun daun pintu perlahan terbuka dengan sendirinya, memperlihatkan aura kegelapan bercampur terang di dalamnya.

Nirwana menggeleng pelan. "Tidak mungkin ... Aku yakin bahwa apa yang kulihat ini hanyalah sebatas mimpi. Ini mustahil!"

Saat pemuda itu beranjak bangkit dari kursi, gelombang transparan menyerap seluruh energi di alam sekitar, menciptakan suatu tenaga yang mampu menghisap tubuh Nirwana hingga terseret masuk ke dalam gerbang dimensi alam yang berbeda.

FINAL FANTASY The Legend Of AmartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang