CHAPTER 19 - Ikatan Cinta Nirwana & Tiara

9 7 0
                                    

Nirwana dan William memacu langkah kuda mereka dengan cepat melalui jalan setapak yang berliku di dalam hutan yang rimbun. Kuda-kuda mereka melaju dengan gesit, menembus rintangan alam yang ada di depan mereka. Saat mereka berhasil melewati semak belukar yang lebat, Nirwana terkejut oleh pemandangan padang rumput hijau yang membentang luas di hadapannya.

Di tengah padang rumput yang luas terdapat sebuah dinding batu yang menjulang tinggi dan kokoh. Dinding batu tersebut terlihat megah dengan tekstur yang kasar namun indah, menciptakan kesan kekuatan dan keabadian. Di tengah dinding, terdapat sebuah gerbang kayu besar yang dihiasi dengan ukiran rumit yang mempesona. Sepasang penjaga setia berdiri di kedua sisi gerbang, menjaga dengan penuh kewaspadaan dan keberanian.

Di bawah terik panas sinar matahari, William memacu laju kudanya dengan penuh semangat, merasakan angin yang mengibaskan rambutnya saat melintasi padang rumput yang luas.

Di tengah padang rumput yang luas terdapat sebuah ibukota yang dikelilingi oleh dinding tinggi dan kokoh. Dinding tersebut menjulang tinggi dengan kekuatan yang menakjubkan, melingkupi ibukota dengan garis-garis batu yang kokoh dan megah. Pintu gerbang utama terbuat dari kayu yang kuat dan indah, dihiasi dengan ukiran yang rumit dan detail yang memukau. Di sekitar gerbang, dua penjaga berdiri tegak dengan pakaian besi yang berkilat, siap menjaga keamanan ibukota dengan penuh kewaspadaan.

Kedua penjaga memperhatikan kedatangan sepasang pemuda penunggang kuda yang tiba di depan gerbang. Pemuda berambut cepak menghentikan kudanya dengan gagah di depan gerbang Ibukota Ignea, menarik perhatian penjaga yang segera menghampiri mereka.

"Siapa kalian dan apa tujuan kedatangan kalian ke Ignea?" tanya salah seorang prajurit dengan suara tegas dan lugas.

William, pemuda berambut cepak, turun dari kudanya dengan gerakan anggun. Matanya yang berwarna biru menatap tajam penjaga itu sebelum ia menjawab dengan suara yang mantap, "Aku adalah William, seorang kesatria dari kerajaan Amarta. Saya diutus oleh Baginda Raja untuk membawa kedua tamu ini ke istana. Mohon izinkan kami masuk."

Salah satu prajurit mengalihkan pandangannya pada gadis elf yang duduk tenang di atas kudanya, memperhatikan dengan seksama sebelum bertanya, "Siapakah gadis elf itu?"

"Dia adalah Tiara, seorang pemburu dari desa Altaraz," jawab William dengan ramah sambil menunjuk pada gadis tersebut.

Prajurit di sebelahnya berbisik dengan rekan-rekannya, kemudian penjaga memberikan isyarat kepada prajurit lain di atas dinding untuk membuka pintu gerbang dengan hati-hati. Suasana tegang namun penuh kehormatan terasa di sekitar gerbang Ibukota Ignea saat kedua pemuda dan gadis elf itu bersiap memasuki ibukota Ignea yang megah.

Di bawah langit jingga, gerbang megah Ibukota Ignea terbuka perlahan di bawah penjagaan sepasang prajurit yang tegap dan gagah. Cahaya senja yang memancar kilauan armor mereka yang bercahaya, menciptakan siluet yang megah dan kokoh di hadapan pintu gerbang yang terbuka lebar.

Sementara itu, sepasang penunggang kuda memasuki Ibukota Ignea dengan langkah yang pelan dan gagah. Kuda-kuda mereka melangkah dengan gagah di atas jalan setapak yang terbuat dari batu alam, sementara hembusan angin senja memainkan rambut Tiara yang berkibar di udara. Senentara sorot mata Nirwana penuh kekaguman menatap kemegahan dan keindahan kota yang terbentang di hadapannya.

Di bawah langit senja yang memerah, Nirwana menatap sekeliling dengan penuh kekaguman, meragukan apakah semua ini hanyalah sebuah mimpi. Setiap bangunan yang dilewatinya terhias dengan keindahan yang memukau, membuatnya bertanya-tanya apakah inilah kemegahan yang selalu disebutkan oleh banyak orang mengenai Ibukota Ignea.

"Apakah aku sedang bermimpi?" Nirwana bertanya pada dirinya sendiri, matanya menelisik ke segenap penjuru arah, terpesona oleh keindahan setiap bangunan yang melintasinya. "Apakah ini yang selalu disebut oleh banyak orang mengenai kemegahan Ibukota Ignea?"

William, dengan senyum samar di wajahnya, menopang dagunya dengan lembut sambil menatap Nirwana. "Tentu saja, Tuan Nirwana. Dan apa yang Anda lihat sekarang hanyalah permulaan dari segalanya."

Nirwana spontan menoleh ke arah William, matanya berbinar-binar. "Benarkah? Bagaimana jika kau mengajakku berkeliling Ibukota Ignea, Tuan William?"

William mengangguk pelan, senyumnya semakin melebar. "Tentu saja, Tuan Nirwana. Namun, izinkan saya terlebih dahulu memperkenalkan Anda kepada Yang Mulia di istana."

Tiara, yang diam-diam mendengarkan percakapan mereka, menggeleng pelan sambil memberikan pandangan tajam. "Jangan sia-siakan waktu untuk hal-hal yang tidak penting, saudara-saudara."

Di dalam kota, bangunan-bangunan yang menjulang tinggi menyerupai istana-istana kuno dengan atap-atap yang melengkung indah, menciptakan panorama yang memukau. Kolom-kolom megah dan ukiran-ukiran rumit yang menghiasi setiap sudut bangunan menambahkan sentuhan kemegahan dan keanggunan yang timeless. Suara gemerisik kaki kuda dan sorak sorai kekaguman mengiringi langkah mereka yang memasuki Ibukota Ignea, menandai awal petualangan yang penuh dengan keajaiban dan keindahan.

Nirwana merasakan degupan yang cepat pada dadanya, seiring dengan sepasang tangan yang merayap dengan lembut pada perutnya. Jemari lentik Tiara menyatu dengan lembut pada perut pemuda tersebut, sementara gadis itu dengan pelan menyandarkan pelipis kanan pada punggung Nirwana, menciptakan kedekatan yang intim di antara keduanya.

"Dengan menyebut nama rembulan yang bersinar terang, serta gemerlap cahaya bintang yang mengelilingi angkasa... aku tidak akan pernah melepaskanmu, Nirwana," bisik Tiara dengan suara lembut yang penuh dengan kehangatan dan keyakinan. Binar matanya yang dipenuhi oleh cinta dan harapan pada Nirwana, menciptakan ikatan emosional yang mendalam di antara keduanya.

"Aku ingin sekali menjalani sisa hidupku bersamamu, memiliki anak setelah kita menikah, dan membesarkan mereka dengan kasih sayang. Aku ingin kita menjalani kehidupan penuh kedamaian dan kebahagiaan di Ibukota Ignea yang megah ini," lanjut Tiara dengan suara yang penuh harapan. Gadis itu meraih tangan Nirwana dengan lembut, menunjukkan rasa cintanya yang tulus dan tekadnya untuk bersama dalam segala liku kehidupan yang akan dijalani bersama.

Nirwana masih menunggang kuda dengan gagah, hening tanpa sepatah kata pun untuk menjawab Tiara. Pandangannya terhenti pada langit biru yang terhampar luas di atasnya, awan-awan tebal menyelimuti cakrawala. Dalam keheningan itu, hatinya bergolak, menciptakan badai emosi yang sulit diungkapkan.

Nirwana merenung. Pikirannya melayang jauh, membayangkan kemungkinan tragis di masa depan. Ia terhanyut dalam khayalan yang menggiringnya akan kehilangan, ketakutan dan kekosongan yang akan ditinggalkannya di medan pertempuran. Tiara, dengan segala impian dan harapannya, menjadi pusat dari kegelisahan yang menghantui Nirwana.

Air mata mulai mengalir perlahan di pipi Nirwana, menandai kelemahan yang tak terungkapkan. Dalam diamnya, ia merasakan getaran emosi yang membelenggu, memperdalam rasa nelangsa yang menghampirinya. Seolah langit sendiri turut merasakan kepedihan yang menghantui hati Nirwana, memperlihatkan kesedihan yang tersembunyi di balik keindahan ibukota Ignea.

"Demi cinta yang abadi, aku akan selalu hadir untuk menemanimu, memberikan jiwa dan ragaku hanya untukmu. Dan jika suatu hari nafasku terhenti, jangan pernah kau sesali segala yang telah kita lalui," ucap pemuda itu sambil perlahan membasuh airmata dengan punggung tangannya. "Namun, aku bersumpah untuk tetap setia mencintaimu hingga akhir nanti."

FINAL FANTASY The Legend Of AmartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang