CHAPTER 35 - Pertemuan

2 1 0
                                    

Di tengah hiruk pikuk Kota Axelia, sebuah kedai sederhana menjadi saksi bisu pertemuan dua jiwa yang berbeda. Nirwana, pemuda berjas hitam, duduk berhadapan dengan Helena, gadis berzirah baja yang memancarkan aura kuat. Di antara mereka terbentang meja kayu yang usang, namun di atasnya terukir cerita yang tak terucapkan.

Nirwana, dengan tangannya yang terlipat rapi, memulai kisahnya. Suara baritonnya, yang biasanya lantang dalam pertempuran, kini terdengar lembut, seakan menyapa jiwa Helena yang terbungkus kerasnya zirah. Setiap kata yang keluar dari bibirnya, setiap gerakan tangannya yang halus, dan setiap perubahan ekspresi di wajahnya, adalah sebuah lukisan yang terlukis di benak Helena.

Helena, dengan dagu yang tertopang tangannya, larut dalam cerita Nirwana. Matanya yang tajam, yang biasanya mengamati setiap pergerakan musuh, kini tertuju pada Nirwana. Setiap kata yang diucapkan Nirwana, setiap detail yang dibagikan, semakin mengukir rasa ingin tahu di dalam hatinya.

Di antara mereka, terjalin ikatan yang tak terucapkan. Nirwana, dengan kejujurannya, membuka lembaran masa lalunya di hadapan Helena. Helena, dengan ketulusannya, mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibir Nirwana. Di antara mereka, tercipta ruang yang dipenuhi kehangatan, sebuah ruang di mana masa lalu Nirwana menemukan tempat yang aman, dan di mana Helena menemukan rasa nyaman yang tak pernah dia rasakan sebelumnya.

Helena, dengan senyum tipis yang terukir di bibirnya, menatap Nirwana. Kedua tangannya masih terlipat di atas meja, jari-jarinya mengetuk pelan permukaan kayu, seolah mengikuti irama detak jantungnya yang berdebar kencang. "Aku kagum padamu, Nirwana. Selain hebat, kau juga pemberani. Kisahmu sungguh luar biasa."

Nirwana, yang terdiam sejenak, menghela napas panjang. Tatapannya melayang ke arah halaman balai kota Axelia, di mana hiruk pikuk kehidupan kota bergema. "Aku hanyalah manusia yang tersesat, Helena. Seandainya aku tidak terjebak dalam dimensi yang berbeda, mungkin takdir tak akan mempertemukan kita."

"Aku senang mengenalmu, Nirwana," kata Helena, suaranya lembut seperti bisikan angin. Tangannya terulur, menyentuh punggung tangan Nirwana yang masih tergeletak di atas meja. Sentuhannya ringan, namun terasa hangat, seperti aliran energi yang mengalir ke dalam jiwa Nirwana. "Kau tampan, baik hati, dan juga penyayang."

Nirwana tersentak kaget. Tangannya terangkat dengan cepat, meninggalkan sentuhan Helena yang hangat. Jantungnya berdebar kencang, seolah ingin menerobos keluar dari rongga dadanya. "Eh, Nona Helena... Sepertinya kita harus kembali ke istana. Aku merasa tidak enak jika terlalu lama di sini."

Helena menahan senyum, matanya berbinar-binar. "Tidak enak pada pemilik kedai, atau tidak enak jika dilihat oleh Tiara, hayoo...?"

Wajah Nirwana memerah, seperti buah delima yang matang. Dia buru-buru bangkit dari kursinya, tubuhnya terasa kikuk. "Eh, maksudku... Sebagai tamu istana, anoo... Aku..."

Nirwana kembali menghela napas, kepalanya terasa berputar. Dia segera beranjak pergi, meninggalkan Helena yang tersenyum geli melihat tingkahnya.

"Senang bisa bertemu denganmu, Nona Helena. Terima kasih juga atas traktirannya," ujar Nirwana, melambaikan tangannya ke udara.

Helena hanya menggeleng pelan, matanya mengikuti kepergian Nirwana. Senyum tipis masih terukir di bibirnya, namun kini tercampur dengan sedikit rasa sedih. "Nirwana... Ternyata selama ini dugaanku salah. Kau adalah sosok pemuda yang menawan, juga perhatian. Selain romantis, kau setia pada Tiara. Ah, aku harus menyampaikan semua informasi ini pada Tuan Putri Elsa," gumamnya lirih, matanya tertuju pada secangkir teh yang masih tersisa di atas meja.

Derap suara langkah berhentak di dasar tanah, berpadu dengan angin sore dan hamparan langit jingga yang mendominasi kesejukan di alam sekitarnya, berpadu dalam suatu irama kala pemuda itu berjalan melewati jalan berbatu di kota Axelia.

Sementara itu, dalam ruangan rapat itu terasa dingin, seakan-akan membeku di antara deretan buku-buku tebal yang menjejal rak-rak kayu tua di dinding. Sinar matahari sore menerobos jendela kaca patri, membentuk pola-pola geometris berwarna-warni di atas lantai marmer yang mengkilap. Di tengah ruangan, meja persegi panjang berbahan kayu mahoni tua berdiri kokoh, dihiasi ukiran rumit yang menggambarkan lambang kerajaan. Enam kursi berlapis beludru merah tua mengelilingi meja, masing-masing ditempati oleh sosok berpengaruh yang tengah berdiskusi.

Di ujung meja, Raja Arthur duduk tegak, wajahnya berkerut dalam renungan. Di sebelahnya, Perdana Menteri Tuan Andrian, seorang pria tua berwajah tegas, berbicara dengan suara berat. Kedua tangannya menggenggam tongkat kayu yang diukir dengan kepala elang, simbol kekuasaan dan kebijaksanaan.

Di seberang mereka, duduk para bangsawan dan penasihat kerajaan, masing-masing dengan ekspresi serius. Di antara mereka, seorang wanita muda terlihat aktif memberikan pendapat.

Sementara di luar pintu, dua penjaga berbadan kekar berdiri tegak, mata mereka mengawasi setiap pergerakan di koridor.

Lisa memandang penuh kekhawatiran pada Komandan Leona yang duduk di seberang meja, lalu dengan lembut mengulurkan tangannya. "Silakan berikan pandangan Anda, Komandan Leona," ucapnya dengan penuh hormat.

Leona, seorang Komandan yang berwibawa dari pasukan khusus kerajaan Amarta, mengangguk serius sebelum berbicara. "Melihat luasnya wilayah Amarta, kekuatan ekonominya, dan keindahan ibukota Ignea, saya menyarankan agar kita meningkatkan kewaspadaan terhadap negara tetangga. Jessica, yang sebelumnya terlibat dalam kerusuhan, patut diwaspadai."

Tuan Andrian, penasihat istana yang bijaksana, menghela nafas dalam-dalam. "Jessica bukanlah lawan biasa. Kita harus mempertanyakan motif kemunculannya di Ibukota Ignea dan mencurigai peran negara tetangga."

Leona menambahkan, "Oleh karena itu, saya usulkan peningkatan jumlah polisi militer yang berpatroli di setiap distrik untuk menjaga keamanan dengan lebih baik."

Putri Elsa mengernyitkan dahi. "Mengapa kita harus bergantung pada Nona Lisa? Bahkan prajurit terbaik bisa dikalahkan. Benar-benar menyedihkan!"

Raja Arthur menatap sang putri dengan serius. "Elsa, bersikaplah lebih sopan."

"Aku hanya menyampaikan fakta, Ayah," balas Elsa, tajam. "Penasihat negara pun tak mampu menghentikan Jessica. Bahkan beberapa polisi militer yang dipimpin oleh Helena pun tak berdaya di depannya. Ada yang tewas dalam pertempuran itu."

Raja Arthur termenung sejenak sebelum berpaling pada Tuan Andrian. "Andrian, apa saranmu?"

Tuan Andrian mengangguk bijak sambil menatap Lisa, penasehat negara yang juga seorang penyihir hebat. "Kita percayakan pada Nona Lisa untuk merancang senjata canggih yang dapat memperkuat pertahanan negara. Saya yakin beliau memiliki keahlian khusus dalam merakit senjata-senjata mutakhir."

Suasana ruangan rapat terasa hening, hingga akhirnya, Lisa, wanita muda yang penuh kecerdasan, angkat suara. "Untuk menciptakan senjata di luar pikiran manusia, kita memerlukan sampel darah naga, batu mustika Raja Ular, dan logam mulia titanium. Namun, perburuan bahan-bahan tersebut tak akan mudah. Kita harus siap menghadapi tantangan besar dan risiko yang mengintai, seolah kita harus rela mengorbankan banyak jiwa untuk melawan ancaman yang belum terlihat."

FINAL FANTASY The Legend Of AmartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang