CHAPTER 34 - Dibalik Motivasi & Kalung Jessica

7 1 0
                                    

Hutan Alkaradia, sebuah nama yang menggetarkan jiwa para petualang dan membuat para pendeta berbisik doa di malam hari, menjulang di sisi timur Pegunungan Alpine. Alkaradia adalah labirin alam yang dipenuhi dengan keajaiban dan bahaya. Pepohonannya setinggi menara kuno hingga menjulang ke langit, dahan-dahannya saling bertautan membentuk kanopi yang gelap dan misterius. Sementara Daun-daunnya yang berwarna hijau zamrud di siang hari, berubah menjadi warna ungu pekat di bawah sinar bulan, seakan menyerap cahaya magis yang terpancar dari jantung hutan.

Di antara pepohonan raksasa itu, terdapat akar-akar yang terjalin seperti jaring laba-laba raksasa mencengkeram tanah, membentuk lorong-lorong tersembunyi yang hanya diketahui oleh makhluk-makhluk yang tinggal di dalamnya. Udara dipenuhi dengan aroma tanah lembap, lumut, dan bunga-bunga aneh yang mengeluarkan aroma manis yang memabukkan.
Namun, di balik aroma itu tersembunyi bau amis darah dan bau busuk yang tak terlupakan.

Hutan Alkaradia adalah tempat di mana mimpi buruk menjadi kenyataan, di mana rahasia terdalam terbongkar, dan di mana keberanian diuji sampai batasnya. Hanya mereka yang memiliki jiwa pemberani dan tekad yang kuat yang berani melangkah ke dalam labirin alam ini, dan bahkan mereka mungkin tidak pernah kembali.

Barisan prajurit yang dipimpin oleh Billy akhirnya berhenti di sebuah lembah yang tersembunyi di jantung hutan Alkaradia. Sinar matahari menembus dedaunan, menciptakan pola-pola cahaya yang menari-nari di tanah yang lembap. Udara sejuk dan beraroma pinus memenuhi paru-paru mereka, membawa ketenangan yang kontras dengan ketegangan yang menyelimuti perjalanan mereka.

Billy, dengan baju besi yang masih menempel di tubuhnya, berdiri tegak di tengah lembah. Matanya mengamati para prajurit yang sibuk mendirikan tenda, tangannya memegang pedang yang terhunus di sisi pinggangnya. Wajahnya, yang biasanya dihiasi senyum ramah, kini tampak serius, dipenuhi dengan tekad yang tak tergoyahkan.

Sebuah bayangan muncul dari balik pepohonan, perlahan mendekat. Navierly, dengan rambut emasnya yang berkilauan di bawah sinar matahari, berjalan anggun menuju Billy. Matanya yang biru tajam menatap Billy dengan penuh tanya, seakan ingin membaca pikiran pemuda itu.

"Billy," suaranya lembut namun tegas, "mengapa kita harus menempuh jalan memutar? Kita bisa saja membawa kapal menuju Amarta."

Billy menoleh, senyum samar menghiasi bibirnya. "Ada sesuatu yang harus kulakukan, Navierly."

"Apa itu?" Navierly mendesak, matanya tak lepas dari Billy.

Billy terdiam sejenak, matanya menatap jauh ke atas, ke langit biru yang tertutup awan tebal. "Tidak semua yang kurencanakan dapat kusampaikan, Navierly. Yang penting, kita memiliki tujuan yang sama, meski berbeda cara."

Navierly mengerutkan kening, kekecewaan terpancar dari wajahnya. "Kau pasti memiliki alasan untuk itu. Hanya saja kau tidak ingin aku mendengarnya."

Billy melangkah maju, meninggalkan Navierly yang berdiri di tempatnya. Senyumnya kini lebih lebar, penuh makna tersembunyi. "Jika yang kau inginkan adalah tahta, maka pertarunganmu ada di sana. Berhentilah bertanya dan ikuti perintahku."

Kata-kata Billy bergema di udara, meninggalkan Navierly dengan rasa penasaran yang semakin membara. Ia menatap punggung Billy yang menjauh, tak dapat menyembunyikan rasa frustasi yang menggerogoti hatinya.

Sinar mentari sore menyinari ibukota yang megah, menyorot bangunan-bangunan unik bergaya Romawi kuno yang berdiri kokoh di tengah kota. Ukiran-ukiran estetis yang rumit menghiasi pilar dan dinding, menambah aura klasik dan megah pada setiap sudut kota. Di tengah jalan setapak yang terbuat dari batu, seorang pemuda dengan jas hitamnya berjalan dengan langkah tenang. Sesekali ia mengangkat tangan, memeriksa jarum jam pada arlojinya yang berkilauan di bawah sinar mentari.

Nirwana, begitulah namanya, berjalan dengan pikiran yang suntuk. Bayangan Jessica, wanita yang telah meninggal dunia, menghantuinya. Detik-detik kematian Jessica terngiang di benaknya. Ia teringat bagaimana Jessica membuka mulutnya di sisa nafas terakhirnya, seakan ingin mengungkap rahasia di balik Ignea, kekuatan misterius yang menyelimuti Amarta. Namun, sebelum Jessica sempat berbicara, nyawanya telah melayang, meninggalkan Nirwana dengan rasa penasaran yang membara.

Nirwana berhenti di taman balai kota, tempat di mana ia pernah berduel dengan Jessica. Pohon marple yang menjulang tinggi berdiri tegak, menjadi saksi bisu atas pertarungan yang menegangkan itu. Nirwana menatap pohon marple dengan tatapan kosong, pikirannya melayang jauh ke masa lalu.

"Seandainya Jessica dapat bernafas lebih lama, mungkin ia dapat menceritakan suatu hal yang tak terduga," gumam Nirwana lirih, tangannya terulur ke kantung celananya. "Namun sayang, semua itu telah berakhir sebelum aku mengetahui kebenarannya."

Nirwana menghela napas panjang, matanya tertuju pada sebuah kalung emas yang tergeletak di dekat akar pohon marple. Kalung itu berkilauan di bawah sinar mentari, memancarkan cahaya keemasan yang memikat. Nirwana menunduk, mengambil kalung itu dengan hati-hati.

"Kalung ini...," bisik Nirwana, matanya terpaku pada kalung emas itu. "Mungkinkah ini milik Jessica?"

Nirwana teringat bagaimana Jessica selalu mengenakan kalung emas itu. Ia yakin bahwa kalung ini milik Jessica, yang tanpa sengaja terjatuh di taman balai kota. Nirwana merasakan sebuah keharuan yang mendalam. Ia memegang kalung emas itu erat-erat, seakan memegang sebuah kenangan yang tak ternilai harganya.

FINAL FANTASY The Legend Of AmartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang