CHAPTER 4 - Cinta Pandangan Pertama

19 11 31
                                    

Dalam keheningan perjalanan, pikiran Helena berusaha mencari inspirasi dari tempat yang mereka datangi.

"Akhirnya hampir sampai," ucap Helena dengan lega setelah menarik nafas. Dia membalikkan tubuhnya, matanya yang biru memperhatikan William dan segelintir prajurit yang mengikuti dari belakang. "William, kita harus segera mencari makhluk itu."

"Maksudmu naga?" tanya William, memandang sekeliling dengan cepat. "Ayo lah... Mengapa Kapten Steven harus mengorbankan nyawa kita hanya untuk seekor naga."

"Ehem!" suara Linda membuyarkan percakapan mereka.

William mengangkat kepala, matanya menatap langit biru yang terhampar di atasnya. "Menjadi petani terdengar lebih menarik dan aman daripada bergabung dengan akademi militer Amarta yang membawa risiko kehilangan nyawa setiap saat," pikirnya.

Helena menghela nafas, merasakan kekecewaan dalam hatinya. Linda, di sisi lain, terlihat tidak tertarik saat melihat William dengan ekspresi kosong. "Mengeluh tidak akan mengubah nasibmu, Tuan," ucapnya.

William menoleh ke arah Linda. "Oh, benarkah? Dan bagaimana jika aku menjadi santapan naga? Aku tidak akan bisa bertemu lagi dengan Komandan Leona yang cantik," ucapnya sambil tersenyum.

"Meskipun aku tidak mengenalnya, dia bukanlah wanita yang mudah jatuh cinta. Jadi, lepaskanlah harapan yang tidak realistis," celetuk Linda.

"Huh! Komandan Leona hanya fokus pada tugasnya. Selain itu, pencapaianku dalam mengalahkan lima orc menunjukkan bahwa aku mampu menghadapi naga dengan mudah," ucap William bangga sambil menepuk dada kirinya. "Mengalahkan naga hanya akan menambah prestasiku."

"Bermimpilah selama kau punya kemampuan untuk mewujudkannya," kata Linda dengan nada rendah, sambil tersenyum sinis yang tak terbantahkan.

"Kalimatmu terlihat seakan meremehkan kesatria Amarta. Kau hanyalah bangsa elf yang memiliki derajat rendah di kalangan manusia pada umumnya!" ujar William dengan nada sungut, menanggapi ucapan Linda.

"Gadis elf itu menoleh dengan kerutan pada dahinya. "Setidaknya kami masih memiliki bangsa manusia yang tidak pernah membedakan ras, seperti Nirwana," ucapnya dengan tegas, menanggapi pernyataan William.

"Siapa itu Nirwana? Dan mengapa kalian memperbolehkan bangsa manusia menduduki pemukiman elf?" tanya Helena dengan rasa ingin tahu yang tajam, merespons dialog sebelumnya.

Pandangan Linda menatap lurus ke depan sembari berkata, "Beliau adalah seseorang yang tidak memandang rendah bangsa kami. Meski aku tidak mengenalnya, tapi aku tahu bahwa kelak ia akan menjadi pahlawan yang mampu mengharumkan nama bangsa," ucapnya dengan keyakinan yang kuat, mengekspresikan harapannya pada masa depan.

"Di lihat dari namanya, sepertinya ia bukan dari Ignea. Namanya terlihat asing..." ujar William sambil menebak-nebak, merespons dengan rasa penasaran.

"Tentu. Menurut informasi yang aku dapatkan dari Tiara dan sejumlah penduduk desa, kilauan cahaya putih telah melempar tubuh pemuda di hutan yang bertepatan tak jauh dari pemukiman desa. Tiara berusaha untuk menolongnya, dan kini mereka berdua tengah berjuang untuk melawan naga di desa kami," cerita Linda dengan penuh perhatian.

Helena menghelakan nafas panjangnya, kemudian berkata, "Jika memang cerita itu benar, maka cepat atau lambat kita akan segera bertemu dengannya. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah Nirwana mampu untuk menghadapi kemarahan naga yang tengah memporak-porandakan desa Altaraz?"

Suasana hening kembali tercipta kala derap suara langkah sepatu kuda menghentak di dasar tanah. Gadis elf tersebut hanya dapat menundukkan kepala.

"Entahlah. Namun aku dapat merasakan tekad yang kuat dalam dirinya untuk melindungi Tiara, beserta sejumlah warga desa. Aku sama sekali tidak mengenalnya, tetapi ia adalah sosok pemuda yang bijaksana dan peduli pada sesama," tuturnya dengan penuh keyakinan, menggambarkan penghargaannya terhadap sosok pemuda tersebut.

William menoleh pada Helena. "Nona..."

Gadis itu sontak mengalihkan pasangannya dan berkata, "William, alasan kita ditugaskan di perbatasan negara adalah, untuk melindungi bangsa elf yang tersisa. Aku tidak ingin melihat mereka memerangi kita sebagai bangsa manusia yang tidak terhormat. Apakah kau mengerti maksudku?"

"Maafkan aku," ucap William dengan penuh penyesalan.

"Kapten Steven tidak pernah mendidik kita untuk memandang rendah bangsa lain. Kita adalah prajurit yang mengabdi pada negara, dan sudah sepatutnya bagi kita untuk merangkul mereka semua. Kalimatmu adalah sampah, jika sampai Tuan Putri Elsa mendengarnya, maka kepalamu yang akan menjadi taruhannya."

Pemuda itu menghela nafas. "Helena, aku hanya membela diri."

"Pembelaan yang salah. Lagi pula, bangsa elf pernah membantu kita untuk memerangi negara Akatsuki dari timur. Jika kita melihat sejarah, justru mereka dan bangsa siluman adalah pasukan yang   rela mati di garis depan hanya untuk mempertahankan kejayaan Amarta."

"Tapi—"

"William, aku harap kau bisa bersikap dewasa."

"Aku mengerti, Helena."

FINAL FANTASY The Legend Of AmartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang