CHAPTER 5 - Kengerian Yang Tercipta

19 11 11
                                    

Helena dan rombongan prajuritnya melangkah melalui jalan setapak yang dipenuhi dengan berbagai jenis batuan alami saat mereka memasuki pemukiman desa.

Helena merasa ngeri melihat pemandangan di depannya yang menusuk hati. Teriakan histeris dan tangisan bergabung menjadi harmoni menyedihkan yang mengisi udara.

"Demi apa ini semua terjadi..." Helena berkata dengan nada hampa, matanya menatap kehancuran di sekelilingnya.

Dalam keheningan, geram dan kesedihan bergema dalam hati Helena saat ia memaksa dirinya menjadi saksi dari kehancuran yang terjadi di depan matanya.

Helena mengangkat sedikit dagunya, matanya menatap kosong ke langit biru yang membentang di atasnya. Angin pagi melambai, mendorong dedaunan kering saling berdesakan, menciptakan suara gemerisik yang mengisi udara.

Helena merasa bahwa bukan hanya dirinya yang merasakan kegelisahan, tetapi juga William yang berada di sisinya. Sebagai seorang kesatria yang bertugas untuk melindungi negara, Helena tahu bahwa saatnya untuk keluar dari balik dinding besar Ignea dan melihat langsung penderitaan rakyat di luar sana.

"Sepertinya makhluk itu telah merusak banyak rumah penduduk desa," kata William sambil memandang sekeliling, mengamati warga lokal yang sibuk membersihkan puing-puing di seberang jalan.

Helena terhenti sejenak saat matanya tertarik pada bangunan tua yang menjulang tinggi. Dinding gedung didominasi oleh warna putih, dengan ukiran rumit yang teratur di setiap sudutnya.

Suara geram dalam hati Helena kembali terdengar saat ia memperhatikan gedung putih dengan empat pilar kokoh yang mendukung bagian depannya. Melangkah melalui puing-puing rumah yang hancur, Helena akhirnya berdiri di depan pintu utama gedung tersebut.

Namun, geram dalam hatinya lenyap saat Helena merasakan sentuhan tangan di pundaknya, memaksanya untuk berbalik. Di hadapannya, seorang pemuda berzirah lengkap dengan ekspresi cemas menatapnya.

"Helena, apakah kau baik-baik saja?" tanya pemuda itu dengan khawatir.

Helena menekuk lengan, menyentuh pelipis sebelah kanan dengan ujung jari. "Entahlah, William, semuanya terasa sulit untuk dijelaskan. Seperti ada suara yang memanggilku ke tempat ini."

William menghela nafas. "Aku ikut prihatin mendengarnya. Semoga kau baik-baik saja, Helena."

"Tentu," jawab Helena singkat.

Tak lama kemudian, derit pintu kayu membuat Helena dan William terkejut. Pintu terbuka, memperlihatkan seorang wanita berdiri di ruang utama. William mengernyitkan alis saat wanita itu pergi meninggalkan mereka.

Mansion tua Altaraz menjulang tinggi dibandingkan rumah warga sekitarnya, dengan dua lantai yang menunjukkan bahwa bangunan itu buatan manusia sebelum pemukiman desa elf dibangun.

Ketika Helena dan William memasuki ruang tengah, Helena berhenti mengetuk sepatunya. William, mengikuti langkahnya, melihat Helena memperhatikan pintu kamar yang terbuka sedikit.

"Ada sesuatu, Helena? Kau terlihat tertarik pada sesuatu," tanya William.

Helena, dalam zirah lengkapnya, menunjuk ke arah kamar. "Firasatku memberitahuku ada sesuatu yang tak beres di sana."

"Kau melihat apa-apa?" tanya William sekali lagi.

Helena menegaskan, "Entahlah, tapi aku akan memeriksanya." Tanpa ragu, dia meninggalkan William dan menuju ke kamar.

Di dalam kamar dengan cahaya matahari yang masuk melalui jendela berlapis kaca, seorang pemuda duduk di atas ranjang dengan punggung dan kepala bersandar pada dinding. Seorang gadis elf duduk di sampingnya, menyandarkan pelipisnya pada dada sang pemuda dengan penuh kasih sayang. Tubuh gadis itu tertutupi selimut putih tipis, menampilkan kehangatan dalam adegan yang tenang.

FINAL FANTASY The Legend Of AmartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang