Garis takdir mengikat kehidupan sepasang anak Adam. Menyatukan dua pikiran yang berbeda, mengikatnya dengan perasaan yang sama.
Namun, tidak semuanya terjalin dengan indah, hubungan yang seharusnya diterima suka cita, menjadi petaka untuk hati tak berdosa.Manusia membagi perasaan benci dan suka, hingga mengenyahkan ketulusan yang ada. Jauh sebelum itu ada, Tuhan telah menitipkan cinta tak berkeluh-kesah.
Cinta tetaplah yang paling murni tanpa memandang kasta. Seburuk apapun yang diterima, hanya hati yang lapang dada menerima itu semua.
Elang benar-benar dibutakan akan cinta, rela menjadi pengganti yang tak pernah diinginkan anak dan istrinya, hingga benci yang ditujukan kepadanya adalah bentuk perhatian mereka.
Sungguh gila pemikiran polos itu!
Bagaimana tidak, ia dijadikan suami hanya untuk pencintraan keluarga istrinya, menjadi ayah dari anak yang bukan darah dagingnya, sampai pengorbanan tidak berarti di mata mereka.Semenjak ia mempersunting Ellen 20 tahun yang lalu, ia tidak mendapatkan hak sebagai suami pada semestinya. Ellen Begitu dingin tak tersentuh, jangankan menyentuhnya, melihat Elang saja ia begitu jijik.
Tak jauh berbeda dengan anak tunggalnya--Dion. Remaja 20 tahun itu begitu membenci Elang, tak segan-segan ia membentaknya, dan memukulinya apabila mood-nya sedang buruk. Jangan salah, perawakan Dion lebih besar dari Elang yang lemah.
Ya, Elang lemah, dan bahkan tidak berguna di mata keluarganya. Tubuhnya yang pendek dari semua anggota keluarganya, walaupun umurnya sudah menginjak kepala 4. Wajahnya masih kelihatan muda, dengan kulit yang putih pucat menonjolkan ciri khasnya, tidak sekalipun keriput menggurat di wajahnya, hanya ada tatapan polos yang ia pancarkan.
Tak jarang Elang tiba-tiba sakit, dan bahkan tak sadarkan diri. Namun anak dan istrinya tidak mempedulikan kesehatan Elang yang tidak baik.
Walaupun begitu, Elang tetap sayang kepada keluarga kecilnya, menunaikan segala kewajibannya sebagai suami dan ayah.
Seperti sekarang, Elang bangun jam 4 subuh, melangkah keluar, lalu mengintip kamar sebelah, ternyata lupa dikunci oleh pemiliknya. Masuk perlahan, berjalan lambat tanpa mengganggu istrinya yang terlelap di ranjang.
Dipandang wajah menenangkan sang istri, menghela napas melihat Ellen tidur tanpa memakai selimut, ditambah AC yang terus menyala, membuat Elang geleng-geleng kepala melihat kebiasaan buruk sang istrinya.
Ditariknya selimut yang terjatuh, lalu menyelimuti Ellen yng meringkuk di tepi ranjang. Tangan Elang mengambil remot AC, mematikannya langsung karena hawa ruangan menusuk kulit putihnya.
Diletakkan remot AC di nakas meja, tersenyum sendu melihat figur foto yang terpampang di atasnya. Foto sepasang kekasih tertawa lepas di sebuah taman yang indah. Tidak itu saja, di sekeliling ruangan, banyak pajangan gambar sepasang kekasih itu menampilkan kebahagiaan. Ellen dan Fero--mantan kekasihnya yang ditinggal mati, hingga menghadirkan Dion benih cinta mereka. Sementara Elang hanyalah pengganti, mengisi kekosongan figur Ayah untuk Dion.
“Fer … kamu beruntung dicintai Ellen sebesar ini, sampai Dion pun tahu aku memang tidak pantas di posisi ini,” lirihnya. Beralih menatap Ellen yang masih terlelap, mencondongkan wajahnya hingga bibir kecilnya menyentuh kening Ellen, lalu membelai lembut rambut Ellen yang berantakan.
“Maaf, ya, aku belum bisa seperti Fero. Aku bingung harus berbuat apa supaya kalian bahagia. Apa aku pergi jauh aja, ya, biar kamu dan Dion bisa bahagia?” Elang terkekeh dengan perasaan sesak dalam bersamaan.
Merasakan Ellen mulai terganggu karena pergerakannya, Elang beranjak pergi keluar, menuju dapur, mengambil bahan-bahan pokok untuk ia masak. Ini memang aktivitasnya sehari-hari, menyiapkan sarapan sebelum istri dan anaknya bangun.
Tangan putihnya begitu lincah memotong bahan makanan, bersenandung menemani setiap pekerjaannya. Hingga semua bahan dimasukkan, menguarkan bau harum di penjuru ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay With Me
RomanceCinta tak pernah salah melabuhkan rasa, mengisi kekosongan yang tak pernah diinginkan, sampai hati yang dipaksa menerima, menggores luka tak pernah iba. Hingga hari itu tiba, penyesalan menghancurkan keegoisan semesta, membuka tabir ketulusan jiwa...