21

1.4K 108 6
                                    

Launa dan Mahendra lebih dulu berlarian masuk ke dalam. Rasanya dunia mereka runtuh bersama harapan yang mereka rangkai untuk masa depan anak mereka nanti.

Namun, Tuhan berkehendak lain. Sepandai-pandai manusia berencana, Tuhan punya berbagai cara membelokkan takdir kehidupan.

Launa menangis keras mendekati brangkar, menghalau perawat yang akan mengeluarkan alat-alat medis di tubuh kurus anaknya.

Mahendra juga melakukan hal yang sama, ia menatap tajam Dokter yang akan mengeluarkan selang ventilator dari mulut yang mulai membiru itu.

"Jangan sesekali berani mengeluarkannya! Anakku nggak bisa bernapas tanpa itu, apa kau mau membunuhnya, hah?!"

Dokter menggeleng. "Bukan seperti itu, Tuan. Tuan Elang sudah menyerah, dan ini hanya akan menyakitinya lebih lama."

Wajah Ellen muram mendengarnya. "Apa kau bilang?! Anakku masih belum menyerah, ia hanya tertidur!" Ellen mengalihkan pandangan ke dada Elang yang tak bergerak. "Ayo bernapas, Nak! Buktikan kamu nggak mudah menyerah ... bernapas ... ayo bernapas! Jangan bercanda, Nak!" Ellen mengusap dada rata itu, meracau-racau dengan tangisan menjadi-jadi.

Mahendra serasa dipatahkan realita, melihat tidak ada respon apapun, ia kembali pada kenyataan, setiap bernyawa pasti akan meninggalkan dunia ini.

"Anak Papa kenapa menyerah secepat, hmmm? Kami disini hancur, Nak, " lirihnya.

Tak tega melihat istrinya brutal menggoncang tubuh anak mereka. Ia memeluknya erat, mengungkung pergerakan.

Namun tak lama kemudian, istrinya pingsan tak menerima kenyataan. Membawanya keluar, bertepatan Ellen dan Dion masuk ke dalam.

Ellen jatuh terduduk di tepi brangkar, tubuhnya bergetar dengan tatapan nanarnya.

Tubuh ringkih yang dipenuhi alat-alat medis itu, perlahan dicabuti berbagai selang dan kabel yang melekat.

Ia meraung pilu menggapai ujung brangkar menghalangi tenaga medis yang sedang bertugas.

Ia tak menyangka berada pada titik semuanya telah berakhir. Dunianya hancur tanpa ada kebahagiaan yang tersisa.

Bahkan ketika tangannya mengusap tangan terkulai suaminya, begitu dingin dari terakhir kali ia pegang.

"Tidak, tidak ... ini hanya mimpi." Menggelangkan kepalanya cepat bersama air mata berserakan.

"Bangun sayang ... jangan tidur seperti ini ... disini sangat dingin, ayo kita keluar." Mengusap mata Elang yang terpejam erat.

Dion menangis dalam diam mengusap punggung mamanya. Ia tidak bisa mendenefisikan bagaimana separuh hidupnya terbujur kaku.

"Dion, ayahmu tidak mau bangun ... dia kedinginan tapi dia tetap tidur ... tolong bangunkan. Ayahmu nggak mau mendengarkan Mama," Ellen mengadu dan tetep berusaha membuka mata Elang yang tetap terpejam ketika ia lepaskan.

Tangis Dion pecah, mengusap dada ayahnya yang tak bergerak. "Buka mata, Ayah. Tidak ada yang bahagia Ayah pergi. Kasihan Mama, Yah ... beri aku kesempatan bisa merawat Ayah lebih lama ... aku belum siap Ayah pergi secepat ini."

Di dimensi lain, kaki Elang berat untuk sekedar mengikuti langkah Fero. Semakin ia melangkah, dari kejauhan ia mendengar tangisan menyayati memanggil namanya.

"Ayo bernapas! Jangan bercanda, Nak!"

"Anak Papa, kenapa harus menyerah, hmmmm? Kami disini hancur sayang."

"Kembali sayang! Jangan tinggalkan aku! Aku nggak bisa hidup tanpamu ... hiks."

"Ayah jangan menyerah! Sekali saja beri Dion kesempatan bisa merawat Papa lebih lama ... hiks."

Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang