16

1.1K 99 1
                                    

Suasana kamar utama tampak sendu, dimana Launa yang duduk dipinggir ranjang memandangi Elang yang masih terpejam.

Tak ayal, ketika menantunya mengganti popok anaknya itu, ia terdiam dengan hati teriris.

Letih dibadannya setelah berjam-jam dalam pesawat, tak sebanding dengan sesak menyaksikan kondisi anaknya.

Walaupun Ellen mengatakan akan baik-baik saja, ia tetap saja tidak tenang sebelum anaknya sadar.

Tiang infus di sebelah tempat tidur pun bersama tabung oksigen sebagai penunjang bagaimana kondisi Elang sekarang.

Tangan rampingnya mengusap lembut perut Elang yang terasa kembung, dan diarenya masih belum berhenti sepenuhnya. Membalurinya dengan minyak kayu putih, supaya membuatnya nyaman.

Ellen yang disebelahnya sibuk mengelap wajah berkeringat Elang. Suhu tubuhnya kembali naik, apalagi dalam pejamnya gelisah.

Masker oksigen pun kembali dipasangkan melihat Elang berat untuk bernapas.

Dion tertidur di sofa karena kecapean pulang dari kampusnya.

"Ma, istrihat, ya? Pasti Mama capek," pinta Ellen.

Launa menggeleng lesu, ia tetap fokus memberi kenyamanan Elang. "Nggak pa-pa. Mama masih ingin dekat Fano lebih lama, kalau bangun nanti Mama nggak bisa seleluasa gini."

Ellen menghela napas, selalu saja mama mertuanya menjawab seperti itu.

Sementara yang dikhawatirkan, menyerngit dalam pejamnya. Ia mulai terusik dari tidurnya. Matanya perlahan membuka, hingga tatapannya tertuju ke sosok wanita paruh baya di sisi ranjang.

Saat ia ingin melepaskan masker oksigen, tangan wanita lebih dulu menahannya, menggenggamnya lembut bersama tatapan sayangnya.

"Kamu masih butuh itu, jangan dibuka."

Elang menjadi bingung dengan posisinya sekarang, ditambah dengan perlakuan wanita itu. Anehnya ia tetap menurut dan membiarkan tangannya digenggam.

Ia mengedarkan pandangan mencari istrinya, rupanya Ellen disampingnya dengan wajah teduh.

"Ada yang sakit, sayang?"

Elang hanya menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Ellen.

Lalu ia kembali memandang Launa yang terus menatapnya. "M-maaf .... " lirihnya.

Launa dan Ellen saling berpandangan, bingung dengan perkataan Elang.

"Maaf kenapa, Nak?"

Rasanya Elang ingin duduk menyalami wanita itu. Apalah daya, tubuhnya tidak mendukung untuk bergerak lebih. Yang bisa ia lakukan, membalas genggaman itu.

"Saya sudah tidak sopan waktu itu ... Nyonya dan Tuan Mahendra pasti tersinggung kan?"

Sekarang Launa paham maksud arah pembicaraan ini. Ia tak bisa lagi menyembunyikan gemuruh di dadanya, sudah lama ia menantikan moment ini.

"Kami yang salah waktu itu membuatmu tidak nyaman. Maafkan kami, ya?"

Elang semakin bersalah mendengarnya. "Kan kalian marah," ucapnya dengan mata berkaca-kaca, frustasi tidak mendapat maaf.

Launa dan Ellen tidak meyangka respon Elang akan seperti ini. Ahh, mereka lupa mental Elang masih belum stabil 100%, lebih mudah emosi dan stres.

"Kita sama-sama memaafkan, ya?"  tawarnya. Berhasil membuat Elang tenang.

Setelah itu, mereka hening. Elang sesekali curi-curi pandang menatap Launa. "Hmmm ... Nyonya, kenapa sepeduli ini sama saya? Tuan Mahendra juga."

Raut wajah Launa yang semulanya berseri berubah sendu. Beda dengan Ellen yang tampak tegang.

Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang