66

390 38 18
                                    

Kami dan segenab keluarga besar universitas
para jajaran staff dan karyawan civitas akademika
mengirimkan ungkapan bela sungkawa dan duka yang mendalam
atas meninggalnya mahasiswa kami

Titra Jafrian .P.

Semoga amal ibadahnya diterima dan mendapat tempat terbaik di sisi-Nya.


Bunyi pesan yang diteruskan berulang kali>> dari beberapa grup itu membuat jemarinya gemetar. Izza menahan napas sembari membaca berulang kali dalam hati setiap susunan kalimat yang berusaha ia sangkal sekuatnya. Kedua kaki jenjangnya lantas melangkah cepat meninggalkan aula fakultas.

Tak mampu sabar meski jalannya telah ia percepat. Izza putuskan berlari menerjang setiap orang yang memadati koridor siang itu.

Napasnya memburu melayang bersama tatapan sinis orang-orang yang tak sengaja bertubrukan dengan bahunya. Cowok itu tak lagi peduli.

Hari ini Izza bukan sosok yang meminta maaf atas kesalahan kecil. Hari ini ia seperti kehilangan nyawanya sendiri.

Hatinya meraung-raung. Memanggil satu nama yang sudah beberapa minggu tak diketahui kabarnya. Tapi saat kabar orang itu muncul. Malah duka yang dibawa ke permukaan. Ini pasti sebuah lelucon batinnya yakin.

Izza tahu ini semua pasti adalah lelucon. Pasti. Karena Jafri pernah melakukan hal yang sama padanya.

"RIZA!!"

Suara yang memanggil-manggil namanya dari kejauhan sudah terdengar begitu jelasnya.
Riza menoleh, lekas berbalik badan. Ia melihat bagaimana Izza datang menghampirinya dengan wajah tak santai. Terlihat panik dengan mimik wajah tak wajar.

"Ini maksudnya apa? Udah lo baca? Jafri gak mungkin meninggal kan. Riz, jawab!"

"Tenangin diri lo, dengerin gue baik-baik."

Riza mengangguk sambil terus memegangi kedua pundaknya.

"Innalilahi wa inna illaihi roji'un. Iya, Jafri kita udah gak ada, Ja."

Riza mengusap dada Izza yang kembang kempis. Obsidian Izza merah menyalang menatapnya.

Tapi kenapa?

"Bukannya dia udah sembuh, dia sendiri yang ngomong waktu itu. Kita liat sendiri dia udah sehat. Lo pasti bohong, Riz. Temen kita gak mungkin secepat itu..Jafri gak mungkin..."

Izza mengusap basah di pipinya. Air mata yang mengalir deras tak mampu lagi ia bendung.

Cowok itu berjongkok. Tubuhnya meluruh dengan isak tangis yang semakin nyaring. Jauh-jauh Izza berlari dari fakultasnya menyusul Riza di fakultas ekonomi. Hanya untuk memastikan kabar duka hari ini.

"Bukan cuma lo yang kaget kok. Gue sama yang lain juga. Mendadak banget kabarnya, ini pesan dapet pertama kali dari fakultasnya Jafri yang di-share ke seluruh grup jurusan."

Izza merunduk. Menutup wajah dengan telapak tangannya.

"Lo, kok, mainnya beneran Jaf? Katanya mau lulus bareng, sarjana bareng. Tapi apa?" racaunya.

RandomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang