23. Ku Harus Melepasmu.

1.8K 155 41
                                    

"HAH!"

Mata Caine terbuka dengan paksa dan bau obat-obatan mulai masuk merasuk ke dalam hidungnya. Pandangannya yang masih buram itu ia alihkan ke sampingnya.

Terlihat siluet yang sangat ia kenal dan terasa familiar hingga membuatnya meneteskan air matanya.

"Rion..?" lirihnya.

"Caine! Bentar gue panggil dokter dulu!" ucap Makomi yang terkejut saat ia dipanggil dengan nama 'Rion'.

Dokter pun datang. Ia memeriksa keadaan Caine lalu berbicara dengan Makomi diluar ruangan. Caine menatap atap ruangan itu dengan sendu.

"Rion..." lirihnya lagi.

"Caine, gue khawatir banget sama lo. Untung aja lo bangun, udah 5 bulan lo ga bangun-bangun sampe gue putus asa hampir minta dokter buat cabut oksigen lo biar lo ga sakit lagi. Lega banget ternyata lo masih pengen hidup sama gue." ucap Makomi sambil menerjang Caine ke dalam pelukannya.

Mereka berpelukan dalam diam. Caine kebingungan dengan ucapan Makomi.

"5 bulan..? Rion gimana kak? Jawab gue..." Makomi melepas pelukannya.

"Lo habis ditabrak truk 3 bulan yang lalu pas lo lagi naik motor mau nyusul gue di Bandara, masa lo ga inget yang ini?" balas Makomi.

"Dan juga Lo lupa? Itu udah kejadian 5 tahun yang lalu Rion mati.. Lupain dia ya? Kasian, Rion sama temen-temen nya ga bisa tenang kalo lo gini terus." jelas Makomi dengan suara bergetarnya.

"Hah? Apaan? Orang baru kemarin gue mau bertengkar sama Rion kok!" sanggah Caine dengan keras.

"Caine!!" yang dipanggil pun terdiam.

Suasana diruangan itu hening. Makomi tak tau ingin melanjutkan perkataannya atau tidak sedangkan Caine terus meneteskan air matanya.

"Relain Rion ya? Dia udah ga ada." Caine menunduk.

"Gue... Belum bisa." Makomi menghela nafasnya.

"Gue masih ngerasa bersalah sama mereka, terutama sama Rion. Andai aja gue ngangkat telponnya, andai aja--" ucapan Caine terpotong begitu Makomi kembali memeluknya.

"Please, let him go. Lo butuh waktu berapa lama lagi buat ngerelain mereka semua? Mereka juga bakal cape karena lo ga bisa ngerelain mereka buat bener bener pergi."

Lalu Caine pun menangis dengan keras dan memeluk Makomi dengan erat. Ia menenggelamkan mukanya pada pelukan sang kakak.

Setelah ia selesai menangis, Caine pun tertidur di kasur rumah sakit nya itu. Makomi menatap sang adik dengan tatapan iba.

"Gue ga nyangka lo bakal se terpuruk ini ditinggal mereka." Makomi pun berdiri dan meninggalkan Caine yang sedang tertidur di dalam kamar itu.

~><~><~><~><~><~><~><~><~><~><~><~><

Setelah beberapa hari menjalani rawat inap, Caine pun diperbolehkan pulang. Makomi mengantarnya kembali ke rumah dan langsung pergi lagi menuju Kanpol.

"Gue juga mau kerja lagi. Udah 5 bulan gue ga kerja gara gara kecelakaan, untung Kak Makomi ada izinin gue." Caine pergi ke kamar mandi dan bersiap untuk pergi bekerja.

Setelah siap, Caine pun menutup pintu rumahnya dan berjalan kaki. Untungnya rumah yang ia tinggali cukup dekat dengan tempat ia bekerja dan kantor milik kakaknya.

Di saat ia sedang berjalan, Caine mampir ke dalam Cafe yang dulu sering ia datangi bersama Rion dan kawan-kawan nya. Ia tersenyum tipis menatap bangunan yang sudah banyak berubah 5 tahun ini.

"Duh, gue harus buru-buru. Ntar gue telat datengnya." ucap Caine.

Ia pun berjalan cepat sambil melihat jam tangannya dan melihat jalan. Caine menyeberangi jalan dan terus berjalan.

Caine tak sadar bahwa saat ia berjalan, ia searah dengan warga lokal. Caine pun menabrak pria itu hingga keduanya tersungkur.

"Aduh! Maaf, gue ga lihat jalan. Lo ga--" Caine menghentikan perkataan nya begitu melihat sosok pria yang ada di depannya.

"Rion Kenzo?" ucapnya tak percaya.

"Rion Kenzo? Siapa itu? Nama gue bukan Rion Kenzo." ucap pria itu kebingungan.

"Eh! Oh, maaf. Lo gapapa? Mau gue anter ke Rumah Sakit?" pria itu menggeleng.

"Ga perlu, cuma luka dikit. Kalo boleh tanya, Rion Kenzo itu siapa?" tanya pria itu.

"Oh... Itu... Temen saya, dia udah ga ada 5 tahun yang lalu." ucap Caine dengan sedih.

"Um, maaf ya. Lo jadi nginget hal ga enak gara-gara gue." Caine menggeleng pelan.

"Nggak, gapapa. Harusnya gue udah bisa relain cuma gue masih gabisa." ucap Caine.

"Berat banget ya ditinggal sama orang yang sedeket itu sama kita. Gue juga pernah ngerasain hal yang kaya lo alamin." Caine menoleh ke arah pria itu.

"Yang gue alamin?" pria bersurai hitam itu mengangguk.

"Gue juga pernah kehilangan keluarga gue gara gara konflik antara keluarga lain." Caine mengatupkan bibirnya.

"Kita kasian banget ya, diantara mereka semua yang bisa bertahan cuma kita berdua. Tapi di sisi lain, gue beruntung. Karena setidaknya dalam satu keluarga, harus ada satu orang yang bisa mengenang cerita itu. Lo juga harus ikhlasin mereka biar hidup lo lebih enteng. Semua udah berlalu, lo ga boleh hidup terpuruk karena keluarga lo mati." Caine mengangguk.

"Oh iya, gue pasti udah nyita banyak waktu lo. Lo pasti sibuk, kalo gitu gue duluan ya. Hati-hati kalo jalan." Caine mengangguk.

Saat mereka berdua ingin berjalan pergi, sekilas pendengaran Caine itu menjadi tajam dan ia terkejut dengan apa yang dikatakan oleh pria itu.

"Once a Family, Always a Family, Caine Chana."

Caine berbalik menoleh ke arah pria itu namun sayangnya ia tak bisa melihat karena banyaknya kerumunan dibelakangnya.

"Kata kata kak Makomi sama cowok itu bener. Harusnya gue bisa move on biar mereka bisa pergi dengan tenang. Semoga lo semua bisa pergi dengan tenang ya. Gue bakal jadi satu-satunya yang mengenang kisah kita semua."

Caine pun berjalan menjauhi kerumunan itu. Di dalam jalannya yang penuh dengan bunga berguguran itu, ia seperti mendengar suara Rion dan teman-temannya yang lain bersamaan dengan terbangnya bunga itu.

"Makasih lo udah mau ngerelain kita semua."

"Selamat tinggal Caine Chana."


END.

Anjay, udah end nih.

1 kuis (boleh dijawab boleh engga): kira kira siapa yang punya dendam sama TNF dan ngebunuh mereka semua?

Kasih saran dan kritikannya ya untuk cerita ini.

Thank you for stay tunned on this Story hehe

See you on the next story, reader!

Enemies? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang