30 | make it right

4K 432 110
                                    

Raline

Di belakangku Samantha masih sibuk memainkan ponselnya. Tampak tak bosan padahal sudah satu jam berlalu. Aku membuang napas lirih, meneruskan kegiatanku memakai skincare di meja rias. Sejak makan malam, aku belum bicara dengan Samudera. Kami bahkan nggak punya kesempatan untuk berduaan. Well, memang bukan hal yang mengherankan karena aku sedang berada di rumah keluarganya. Hanya saja, yang terjadi di meja makan membuatku ingin bicara dengan Samudera.

"Lo dan Iel kenapa sih?" pertanyaan tiba-tiba Samantha sontak membuat tubuhku menegang.

"What do you mean?" aku membasahi bibir. Mengusap tanganku yang kubaluri dengan cream tangan. "Gue sama Iel baik-baik aja," kepalaku menoleh ke belakang sambil menorehkan senyum kecil. "Emang kenapa?"

Samantha mengangkat bahunya. "Cara dia ngomong ke elo beda aja."

Mulutku terbuka. Sebuah tawa lolos dari celah bibirku. "What?! Iel cuma terlalu khawatir gue balik sendirian."

"Exactly!" Samantha mengangguk. "Dia biasanya emang perhatian sama lo. Cuma ... tadi itu ... beda. The way dia menatap lo, dan nada suaranya, he seems possessive," darahku mengalir dengan deras. Ketika Samantha menatapku, dia menyipitkan mata. "... as if you were his."

"Ngaco lo!" aku membantah dengan cepat. Jantungku berdegup kencang. "Lo tahu gue sama Iel emang saling peduli. Tadi itu ..: tadi itu Iel cuma terlalu khawatir aja sama gue. Lo tahu sendiri adik lo bisa galak banget kalau lagi khawatir."

Aku bisa melihat mata Samantha masih menyorotkan kecurigaan. Pandangannya terpaku lama padaku seolah sedang meneliti sesuatu. Aku harap ekspresiku sekarang nggak kelihatan panik atau gelisah. Tapi Samantha sudah mengenalku hampir sepanjang hidupnya. Dia pasti bisa menangkap sedikit aja saja perubahan dalam diriku.

"Tetap aja Iel nggak kayak biasanya," desah Samantha tampak gusar. "Lo pasti juga ngerasa, kan?"

Aku menelan ludah. Seperti Samantha yang sangat mengenalku, aku pun sangat mengenalnya. Samantha jelas sekali nggak terlalu menyukai pemikiran Samudera naksir padaku.

"Iel masih kalut karena Mami," kataku kecut. "Emosinya mungkin lagi nggak stabil. Ketakutan kehilangan Mami mungkin aja bikin dia jadi posesif sama orang-orang yang dia sayang."

Samantha tediam mendengarkan ucapanku yang cukup masuk akal. "Maybe you're right," angguknya. Meskipun keraguan masih tampak di matanya. "Bi Sri bilang Iel gemeteran waktu sampai rumah sakit. Gue nggak bisa bayangin gimana takutnya Iel."

Aku pun nggak bisa membayangkan gimana takutnya Samudera saat itu. Aku berharap aku ada di sana dan memeluknya erat. Mengatakan semua akan baik-baik. Apapun yang dia khawatirkan nggak akan terjadi. Meskipun aku sempat melakukannya—momen itu terlalu cepat berlalu karena Samudera harus segera kembali untuk menemui Samantha yang mencarinya. Aku belum yakin perasaan Samudera sudah lebih baik. Itu juga salah satu alasanku memutuskan datang kemari.

Selesai dengan interogasi kecilnya, Samantha mematikan lampu dan berbaring di tempat tidur. Tak lama, aku pun menyusul dan berbaring di sampingnya.

Mataku terpejam, mencoba untuk tidur. Namun menit demi menit berlalu dengan sia-sia. Kubalikkan badan dengan posisi terlentang. Menoleh pada Samantha yang sudah tidur dengan nyenyak.

Aku tahu aku nggak akan bisa menyembunyikan hal ini dari Samantha selamanya. Cuma tanggapan Samantha soal kemungkinan Samudera yang menyukaiku sama sekali nggak membuatnya senang. Tadi saja dia tampak gusar atas dugaannya sendiri.

Aku membuang napas. Menatap langit-langit kamar dengan pemikiran yang menumpuk. Kekhawatiran pada Samudera, respon Samantha, dan masa depan hubungan kami berputar-putar di dalam kepalaku.

Closer Than ThisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang