35 | fire

3.6K 432 113
                                    

Samudera

Honestly, gue bukan tipe orang yang suka party. Apapun itu jenisnya. Jordan sering mengeluhkan hal ini pada gue. Karena setiap kali dia mengajak gue pergi, gue selalu menolak jika tujuannya adalah party.

Kebalikkan dari gue, Raline adalah party people. Bersama Samantha, mereka berdua akan mengguncang kelab malam yang mereka datangi. Saat di umur dua puluhan, hal yang mustahil untuk Raline dan Samantha punya waktu kosong di hari weekend. Mereka selalu punya hal-hal menyenangkan dan seru untuk dilakukan. Termasuk hal-hal gila di luar nalar manusia. Mereka menyukai perbedaan dan tantangan. Nggak pernah ragu mengambil risiko jika sudah menginginkan sesuatu.

Sementara gue si tipe berhati-hati. Yang. Selalu mempertimbangkan banyak hal saat mengambil keputusan. Boring? I know. Gue sangat menyadari kalau gue cowok membosankan. Hidup gue lurus-lurus aja. Dan gue suka keteraturan dan kesetabilan.

Kedekatan Raline dan Samantha layaknya belahan jiwa. Setiap kali melihat mereka bersama, gue sampai terkagum-kagum dengan kekompakkan mereka. Gimana bisa, dua orang yang nggak punya hubungan darah, bisa sangat dekat dan kompak?

Bahkan gue nggak pernah melihat mereka bertengkar. Saat melakukan kesalahan, mereka cenderung mentertawakan hal itu dengan mengeluarkan ledekkan. Saat berbeda pendapat sekali pun, mereka punya cara sendiri untuk membuat suasana di antara mereka tetap menyenangkan.

Namun sekarang, suasana jelas nggak menyenangkan antara kami bertiga.

Raline tampak tegang dan pucat. Dia mengerjap, kemudian membasahi bibirnya yang bengkak dan merah dengan gugup. "Tha, gue bisa jelasin—"

"Oh right," Samantha melipat tangan. Auranya begitu gelap dan kelam. "I'm sure there's a reasonable explanation why your mouth is in my brother's mouth!"

"Kak," gue menyela karena ucapan kasar Samantha.

Namun Raline mengangkat tangannya menahan gue. Dia menatap gue sambil menggelengkan kepala. Mencegah agar gue nggak membelanya. Gue jelas nggak mau melimpahkan segalanya pada Raline. Ini hubungan kami berdua. Gue nggak bisa membiarkan Raline menanggungnya sendirian.

Akan tetapi tatapan Raline semakin memelas. Tanpa suara, bibir bergerak kecil. "Iel, please."

Damn it!

"Samantha, gue ngerti lo kaget dan bingung," ucap Raline setelah gue membuang napas dan memejamkan mata sekilas.

"Kaget dan bingung?" Samantha mendengus. "Perasaan gue sekarang bukan cuma kaget dan bingung, Line. Gue kecewa! Gue marah!" seru Samantha menyemburkan perasaannya. Dia menyugar rambut gusar. "How could you—shit! He's my brother, Raline!"

Raline bergeming. Panik dan cemas tampak jelas di wajahnya. Jantung gue berdentum menyakitkan. Gue nggak suka melihat Raline seperti ini. Dan gue lebih nggak suka gue lah penyebabnya.

"Of all men ..." Samantha menatap Raline nanar. "How could you tease my brother?"

"She didn't tease me," gue langsung membantah. Mengambil langkah maju, dan meraih tangan Raline untuk melindunginya di balik badan gue. "I did. Aku yang ngejar-ngejar Raline. Aku yang minta dia buat mempertimbangkan aku. Kalau hubungan kami menurut kakak adalah kesalahan. Then this my fault, not her."

"Iel!" tatapan Samantha beralih pada gue terkejut. Dia memandang gue seolah gue sudah mengkhianatinya.

"No." Raline menggeleng. Dia melangkah maju. "It's not like that, Tha. Nggak sepenuhnya salah Iel. Gue—"

Closer Than ThisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang