38 | invisible string

3.1K 451 108
                                    

Raline

Pagi ini aku bangun dengan penuh tekad dan satu tujuan. Mendatangi Samantha meskipun itu artinya aku harus mencarinya keujung dunia sekalipun.

Aku sudah mulai lelah dengan drama ini—well, I know, aku adalah penyebab drama ini terjadi. But I'm tired of waiting. Kami harus membicarakannya. Terserah Samantha mau memaki-makiku—asalkan dia memberiku kesempatan untuk menjelaskan dan menyesali perbuatanku padanya. Jika dia melakukan ini agar aku intropeksi diri? Yes, I did it.

Saat aku meletakkan diriku pada posisi Samantha, aku akan bereaksi sama sepertinya.

Aku pasti akan bertanya-tanya apakah dia benar-benar menganggapku sahabatnya? Bagaimana mungkin dia menyembunyikan hal sepenting itu padaku?

Membayangkan Samantha meragukan hal itu ... rasanya seperti ribuan jarum menusuk dadaku.

Serius, aku dan Samantha sering berbeda pendapat dan bertengkar. Namun apapun masalahnya, kami nggak pernah mendiamkan satu sama lain lebih dari satu hari.

Menyembunyikan hubungan dengan Samudera dari Samantha bukan hal yang kubanggakan. Mudah berkata seharusnya aku memberitahu Samantha sejak lama, atau sejak hubungan itu dimulai. But, hey, let me tell you, memberitahu sahabatmu bahwa kamu sedang mengecani adiknya nggak segampang itu. Terlebih, sahabatmu tampaknya tidak terlalu menyukai gagasan itu, sebab dia tahu kamu selalu skeptis akan hubungan antara wanita dengan pria yang lebih muda.

Samantha akan meragukan ketulusanku. Dan aku nggak bisa membuktikan hal itu tidak benar jika hubunganku dan Samudera baru seumur jagung. Aku ingin memperkuat hubunganku dengan Samudera sebelum memberitahu Samantha. Menunjukkan padanya jika aku nggak main-main.

Dan, hey, aku sudah akan memberitahu Samantha. Aku juga telah membicarakannya dengan Samudera. Sadly, semesta tampaknya tidak berada di pihakku.

Pembelaanku bukan untuk membuktikan bahwa aku nggak bersalah. Aku hanya mengutarkan alasanku melakukannya. Bahwa aku melakukan itu bukan karena ingin menyakiti Samantha, atau menganggap persahabatan kami tidak penting. I wasn't a bad person. Tapi kuakui aku sudah melakukan kesalahan padanya.

God, dunia pun tahu betapa pentingnya persahabatan kami buatku.

Samantha nggak ada di apartemennya karena aku meminta bantuan Sandra—salah satu teman kami berdua—mengatur pertemuanku dengan Samantha tanpa diketahui olehnya. Sandra agak kebingungan sehingga aku harus memberitahunya kalau aku Samantha sedang bertengkar.

"Kalian barantem?" Sandra tergelak kecil. "Gue nggak pernah bayangin kalian bisa barantem. You know, kalian berdua udah kayak anak kembar yang selalu kompak."

"Bahkan anak kembar pun bisa berantem, San," balasku. "So, help me, lo harus pastiin Atha mau keluar sama lo."

"Okay." Sandra mengiakan. "Memang kalian barantem karena apa, sih?"

"Ntar gue ceritain kalau gue sama Atha udah baikkan."

So, here I am. Masih berada di dalam mobil yang kuparkirkan di parkiran sebuah restoran Itali di daerah Kemang. Sandra baru saja mengabarkan jika Samantha sudah tiba. Aku menarik napas, lalu perlahan-lahan mengeluarkannya lewat mulut. Bohong sekali jika aku mengatakan aku nggak nervous. Hell, Samantha memang sahabatku. Namun sekarang dia juga adalah kakak dari pacarku.

Gosh, aku bahkan nggak pernah bermimpi akan berada di posisi ini.

Kubuka pintu mobil. Melangkahkan kaki memasuki restoran yang cukup ramai karena sekarang weekend. Sandra cukup peka mereservasi private room sehingga aku nggak perlu khawatir jika hal-hal nggak diinginkan terjadi. Well, seperti aku dan Samantha bertengkar misalnya? Kemungkinan itu bisa saja terjadi jika emosi Samantha masih seperti kemarin.

Closer Than ThisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang