37 | will melt her heart

3.3K 431 105
                                    

Samudera

Saat gue kecil, memiliki dua kakak perempuan sedikit membuat gue merasa terasingkan. I mean, usia Shanala dan Samantha cukup jauh di atas gue. Mereka sudah memiliki kelompok pertemanan sendiri yang membuat mereka nggak akan mau menghabiskan waktu dengan bocah umur lima tahun.

Gue nggak terlalu ingat. Tapi dari video-video yang direkam Mami dan mendiang Papi, dulu gue cukup sering menangis karena dijahili oleh kedua kakak gue. Terkadang juga gue merengek ingin ikut mereka pergi yang mau hangout sama teman-teman mereka. Tapi nggak mungkin Shanala atau Samantha membawa gue main sama geng cewek-ceweknya. Alhasil demi menghibur gue agar nggak terus-terusan menangis, Mami dan mendiang Papi mengajak gue ke Dufan.

Meskipun begitu, Shanala dan Samantha adalah saudara terbaik. Gue menyayangi mereka lebih dari apapun.

Saat kami masih kekanakkan dan sering bertengkar. Mendiang Papi selalu bilang; punya saudara adalah anugerah, dan nggak semua orang bisa seberuntung kami. Kelak, ketika kami dewasa, kami akan mengerti maksud beliau.

And we understood what he meant when we got older. Cause the greatest gift our parents ever gave us was ... each other.

Gue jelas nggak menyukai keadaan kami sekarang. Tapi nggak ada yang bisa gue lakukan selain menunggu Samantha mengakhiri aksi diamnya dan menanggapi keinginan gue untuk bicara dengannya.

Gue sudah meminta bantuan Shanala. Dan dia bilang Samantha selalu menghindari jika Shanala mulai menyebut nama gue atau Raline.

"Don't worry. Atha butuh waktu buat memproses semuanya, Iel. Dia nggak mungkin menghindar selamanya. How can? Kamu adiknya ... dan Raline sahabatnya." Ucap Shanala kemarin saat kami janjian ngopi bareng di tower-nya.

"I know, I know, Kak." Gue mengangguk gusar. "Cuma Raline ... aku nggak bisa ngeliat dia sedih terus. Aku juga merasa bersalah sama  Kak Atha."

"Hey," Shanala mengusap bahu gue. "Everything will be fine. Trust me. Mendiang Papi selalu ngajarin kita buat memaafkan kerena itu perbuatan yang mulia. Dan kamu tahu, orang yang paling Atha dengerin adalah Papi."

Gue menghela napas. Kemudian mengangguk. Berusaha meyakini hal yang sama karena jika situasi ini makin rumit dan berlarut-larut. Mami akan menyadari ketidakberasan yang terjadi dengan anak-anaknya. Membuat Mami cemas adalah hal yang paling nggak ingin gue lakukan.

"Mas,"

Gue tersentak kaget. Kemudian menoleh dan melihat seraut wajah Nina yang kelihatan sangat capek mendekati gue.

"Hi, Nin," gue tersenyum kecil. "Aku kira kamu udah pulang. Tadi aku liat meja kamu udah kosong."

"Aku tadi ke tempat Sissy," ucap Nina. Sissy adalah teman dekat Nina di kantor—tepatnya di bagian HRD yang ruangannya beda satu lantai dengan kami. "Um, udah selesai syuting-nya, Mas?" tanya Nina sembari mengambil gelas di laci kabinet, memandang gue sebentar yang duduk di meja pantry kantor.

"Yup." Gue mengangguk. "Baru aja."

Nina manggut-manggut. Kemudian setelah selesai membuat teh, dia mendekati gue, menarik kursi di seberang dan duduk di sana.

Gue menghela napas sambil tertawa pasrah. "Kelihan banget ya, Nin?"

Nina tertawa sambil menutupi mulut dengan punggung tangan. "Kamu kalau galau emang selalu kelihatan sih, Mas. Evertying okay with you and ... Kak Raline, right?"

"Yeah, yeah, we're good," angguk gue.

"But?"

"But ..." gue berhenti. Bukan hanya karena sedang merangkai kata untuk menjelaskan situasi gue. Melainkan juga disebabkan pintu pantry yang tiba-tiba terbuka dan sosok jangkung Jordan muncul. Cowok berkemeja biru itu mengerutkan kening. Memandang gue dan Nina bergantian.

Closer Than ThisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang