03 | just hold on

6.8K 648 39
                                    

Raline

What's it's like to be single in 30s?

Well, mungkin para wanita yang sudah berada di late twenties dan belum memiliki pasangan akan mulai gelisah dan takut menghadapi usia tiga puluh. But trust me, memasuki usia tiga puluh dan masih belum memiliki pasangan bukan lah akhir dunia. Being single in 30s has given you opportunity to truly know and love yourself.

For me, I've embraced the idea that I don't need a partner to be happy and fullfilled. Sure, ada waktu dimana aku juga merindukkan afeksi dari seorang pria. Akan tetapi hal itu tidak membuatku menganggap diriku sudah tidak layak apalagi expired hanya karena aku sudah memasuki usia tiga puluh. Rasanya sangat tidak adil karena pria yang berusia tiga puluhan dianggap menarik dan matang sementara wanita di usia tersebut dibilang tidak laku.

Come on, ini sudah zaman modern. Wanita pun sudah memiliki pilihan atas hidupnya sendiri. Termasuk untuk menunda menikah karena ingin mengejar karir atau ingin fokus pada dirinya sendiri. Sama seperti pria, wanita berhak memiliki kesuksesan dalam bidang yang mereka sukai, right?

Jika single membuatmu lebih nyaman dan bahagia, kenapa harus mencari pasangan? Apalagi jika kamu single, kaya, dan berkarir cemerlang. Percaya deh, kamu nggak akan lagi menganggap laki-laki penting.

Mungkin terdengar munafik karena aku mengatakan di saat aku sedang gencar-gencarnya mencari teman dating. Tapi alasanku melakukannya bukan karena aku terdesak ingin menikah. Sampai sekarang, pernikahan masih belum berada dalam daftar prioritasku. Thanks for Bu Selena yang tidak pernah sekalipun mendesakku untuk menikah meskipun putri satu-satunya sudah berusia 33 tahun. Malah dia berkata, "Menikah itu bukan perlombaan. Menemukan pasangan yang tepat adalah yang terpenting. Untuk apa buru-buru jika akhirnya menikah dengan orang yang salah?"

Right. Menemukan pasangan yang tepat adalah yang terpenting. Tapi ternyata untuk mendapatkan pasangan yang tepat nggak mudah.

"Cowoknya kan cuma lo mau bawa ke pernikahan Andrew doang. Kenapa lo musti picky banget, sih?" sungut Samantha sepulang aku dari kencan dengan pria yang wanita itu kenalkan padaku. Begitu sampai apartemen, aku langsung menelpon Samantha dan mengomelinya.

Hell, walaupun cuma buat dibawa ke pernikahan Andrew—aku tetap nggak mau sembarangan dong! Asal comot pria tanpa melihat keperibadiannya.

Namanya Erka—pria yang Samantha sodorkan padaku. Kami bertemu di salah satu restoran mewah di Jakarta Selatan. Erka seorang lawyer. Wajahnya lumayan tampan. Tingginya mungkin tidak lebih dari 170 cm. Meskipun aku tidak bertubuh tinggi semampai, aku menyukai pria yang tinggi 180 cm ke atas. Tapi, yeah, mungkin ada hal menarik dari pria itu yang akan membuatku bisa melupakan soal fisiknya yang tidak masuk kriteriaku.

Karena seorang lawyer, Erka cukup pandai bicara. Hanya saja, aku nggak menyukai nada sombong di suaranya. Makin lama dia malah flexing. Pamer harta, aset, dan blah-blah. Dan yang membuatku langsung ilfeel adalah ketika dia menjelek-jelekkan mantannya seolah dirinya paling sempurna!

Laki-laki seperti itu sungguh memuakkan.

Apalagi ketika dia menanyakan sesuatu yang membuatku langsung bangkit berdiri dan meninggalkannya sambil mengeluarkan pandangan super jijik. "Kalau Alaton Hotel dipegang sama Bu Selena, artinya nanti kamu bakal jadi pewarisnya, kan?"

Terus kenapa kalau gue jadi pewarisnya? Lo mau flexing ke teman-teman lo punya pasangan pewaris hotel?!

Sebenarnya bukan satu kali ini saja aku menghadapi pria gold digger. Tapi nggak ada yang seterang-terangan si Erka ini.

Closer Than ThisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang