36 | weather the strom

3.3K 443 104
                                    

Raline

I never thought last night would be a nightmare—I mean, sure, it's before Samudera and I made love. Ini tentang keberadaan Samantha yang entah bagaimana bisa berada di apartemen Samudera.

Well, Samudera memang memberi akses pada kedua kakaknya untuk berkunjung kapan saja ke apartemennya. Termasuk padaku. Sebab itu, kami jarang menghabiskan waktu di apartemen Samudera demi menghindari Samantha tahu. Dan selalu memastikan dia sedang nggak berada di Jakarta saat kami ingin menghabiskan waktu di apartemen Samudera.

Samantha mengatakan akan pulang lusa. Aku bahkan sudah mereservasi tempat SPA untuk kami berdua. Berencana menyenangkannya terlebih dahulu sebelum membahas topik penting tersebut. Namun rencanaku gagal dan aku harus mulai membuat rencana baru untuk meluluhkan Samantha.

Samudera mengantarku pulang ke apartemenku pagi-pagi sekali. Aku nggak bisa meninggalkan pakaianku di tempat Samudera demi menghindari kecurigaan. Karena semalam aku menginap tanpa persiapan, so, aku sama sekali nggak membawa baju ganti.

Samudera nggak langsung pergi saat mengantarku pulang. Dia mampir sebentar untuk membuatkanku sarapan. Hatiku nggak bisa nggak meleleh atas sikap manisnya. Aku jelas nggak akan bertemu pria seperti Samudera dua kali. Dia terlalu berharga. I didn't want to lose him ... I can't. Kurasa aku sudah merasakan hal itu sejak memutuskan menjalin hubungan dengan Samudera.

Maka dari itu, aku berani mengambil risiko, aku nekat melakukannya meskipun tahu reaksi Samantha mungkin nggak akan menyenangkan.

And it happened as I predicted.

Hari pertama setelah kejadian itu, aku menuruti perkataan Samudera untuk membiarkan Samantha tenang terlebih dahulu. Namun hari kedua, aku menghubunginya dan luar biasa lega dia nggak memblokir nomorku. Artinya Samantha masih mau mendengarkanku. Sayangnya, meskipun nomorku nggak diblokir. Wanita itu sengaja nggak mengangkat panggilanku apalagi membalas chat-ku.

Dia benar-benar mengabaikanku.

Samudera mengatakan Samantha juga melakukan hal yang sama padanya—ketika aku meminta samudera menghubungi Samantha agar kami bisa membicarakan masalah ini.

Aku cukup kesal dengan sikap Samantha. Tapi mengingat aku pun pernah melakukan hal ini pada ... Samudera. Aku menyadari aku nggak bisa merasa begitu—sebab menghindar terkadang seperti solusi atas semua masalah. Meskipun pada kenyataannya nggak begitu.

Menghindar sama sekali nggak membereskan masalah.

Aku mengeluarkan ponsel setelah meeting berakhir. Kursi-kursi perlahan mulai kosong. Ami pun segera mendekatiku untuk memberitahu schedule-ku selanjutnya. Sebelum dia mengingatkanku dengan pekerjaan yang menggunung, aku mengangkat tangan memintanya menahan itu semua tanpa suara.

Ami nggak butuh bertanya lebih banyak untuk tahu maksudku. Dia munurunkan iPad-nya. Menungguku menyelesaikan apapun yang ingin kulakukan dengan ponselku.

Aku menempelkan ponsel di telinga setelah menekan tombol panggil. Bunyi tut ... tut ... tut ... yang panjang terdengar. Bunyi itu seperti alat pemancing emosi. Membuatku menjadi nggak sabar dan pada akhirnya mendesah sebal karena Samantha kembali mengabaikanku.

"Shit!"

Samantha jelas sengaja melakukan ini untuk membuatku kesal.

Aku membuang napas. Menghempaskan punggung ke sandaran kursi sembari memejamkan mata. Mulai berhitung sampai 100 untuk menuruni emosiku agar nggak memuncak.

"Um, ibu, mau saya pesanin ice latte?" tanya Ami yang tentu menyadari gelapnya suasana hatiku.

Aku membuka mata kemudian menggelengkan kepala. "Schedule saya selanjutnya apa, Mi?" tanyaku seraya bangkit berdiri, dan Ami pun cekatan membuka lagi iPad-nya dan memberitahuku padaku.

Closer Than ThisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang